4/01/2015

Nawa Cita, Janji Manis yang tak Kunjung Nyata



Tiga bulan lebih semenjak pemerintahan dipegang oleh pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Jokowi-JK. Masih lekat dalam ingatan dalam masa kampanyenya pasangan Jokowi-JK ini sempat mengusung misi Nawa Cita untuk mewujudkan visi Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.  Sekarang Jokowi-JK telah mendapt kepercayaan rakyat untuk memegang kekuasaan. Apakah benar Nawa Cita merupakan cita-cita Jokowi-JK membangun bangsa yang kemudian akan direalisasikan, atau hanya janji pemanis yang dibuat untuk meraih tampuk kekuasaan? Apakah Nawa Cita benar-benar telah sesuai dengan cita-cita bangsa dan sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia kini?
Berikut sembilan misi yang dijanjikan Jokowi (Nawa cita)
  1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
  2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.
  3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
  4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
  5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program "Indonesia Pintar"; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.
  6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
  7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
  8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.
  9. Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
Bila kita lihat tentunya ide pertama mengenai perlindungan terhadap segenap warga negara ini sudah sesuai dengan cita-cita nasional seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Setiap warga negara berhak atas jaminan perlindungan dari negara.  Dimana pun ia berada baik yang di dalam negeri maupun yang bekerja sebagai migran di luar negeri perlu mendapat perlindungan negara. Untuk apa ada negara bila tidak mampu melindungi rakyatnya sendiri?
Sayangnya dalam realisasinya, tidak sesuai dengan kebijakan yang dijalankan pemerintahan Jokowi-JK. Seperti yang diungkapkan Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah terkait penanganan peristiwa hukuman mati yang harus dijalani oleh para tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Anis menyatakan, “Kalau mengingat Nawa Cita yang diucapkan Joko Widodo (Jokowi) saat kampanye calon presiden, rasanya enak betul jadi warga negara Indonesia.” 
“Jokowi menyatakan, peristiwa hukuman mati bagi TKI di luar negeri adalah duka bangsa. Jadi negara harus hadir membelanya. Tapi dalam praktiknya ternyata itu hanya sebatas ngomong saja. Pembelaan terhadap TKI pun tidak pernah dilakukan oleh Negara," ujar Anis, mengutip pernyataan Jokowi. Demikian juga halnya dengan pernyataan Jokowi negara harus hadir melindungi TKI yang sedang menjalani proses hukum.
"Praktiknya, negara selalu absen dalam membela TKI, Jokowi malah menyerahkan lagi urusan perlindungan itu kepada swasta," tegasnya.[1]
Kemudian terjadinya ketidakmerataan pembangunan antara desa-kota memang menjadi kenyataan yang kita hadapi bersama. Tentunya i’tikad baik untuk mulai membenahi pembangunan desa dan daerah tertinggal seperti ini patut kita dukung bersama. Namun apakah benar-benar sudah direalisasikan? Sejauh apa yang pemerintah kerjakan hingga saat ini?
Menurut Ketua Lingkar Kajian Ekonomi Nusantara (LKEN) dan pakar ekonomi perdesaan, Didin S. Damanhuri, dalam seminar “Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Jokowi–JK: Membangun dari Pinggiran, Mengapa Pembangunan Perdesaan Macet?” di Jakarta (9/3/2015) pembangunan dari pinggiran (daerah dan perdesaan) adalah suatu paradigma menentang arus atau against of stream terhadap paradigma pertumbuhan ekonomi (growth oriented).
Menurut Didin, semua program tersebut akan terhalang oleh pendekatan growth oriented yang telah diterapkan pemerintahan sebelumnya. Kondisi ini, ironisnya bertolak belakang dengan pernyataan Jokowi sendiri dalam APEC dan ASEAN Summit yang menyatakan Indonesia akan aktif dalam global supply chain.  Target ini tentunya berseberangan dengan target pembangunan kedaulatan pangan dan kemandirian ekonomi, karena produktivitas dan daya saing kita yang rendah. Akibatnya, ketimpangan sosial ekonomi perdesaan yang terjadi selama ini akan semakin jauh.
Peneliti dari Sajogyo Institute, Gunawan Wiradi, menuturkan bahwa membangun dari pinggiran yang saat ini dilakukan barulah metafora. Kemacetan pembangunan ini dikarenakan, ibarat pembangunan jalan, maka bukan jalan utama yang diperbaiki melainkan trotoarnya yang diperindah.
“Ini jargon kampanye politik praktis. Untuk itu, evaluasi target pembangunan harus dilakukan sesuai UUD 1945” ujarnya. Menurutnya, pemerintah harus memenuhi berbagai prasyarat reforma agraria demi perbaikan tata kelola pertanian yang baik.
Misalnya, pengertian reforma agraria ‘bagi-bagi’ 9 juta hektar tanah merupakan pengertian yang salah. Datanya harus lengkap dan akurat, baru bisa dilakukan, termasuk prasyarat untuk memiliki organisasi tani yang kuat. Berdasarkan pengalaman, bila rezim pemerintahan berganti, permasalahan agraria akan muncul kembali. Demikian pula, elit penguasa harus terpisah dari elit bisnis. Saat ini para penguasa adalah pelaku bisnis.
“Jika sejumlah prasayarat ini belum terpenuhi, bagaimana reforma agraria akan dapat dilakukan?”[2]
Terkait reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya sebagai rakyat yang merindukan ditegakkannya keadilan hukum tentu kita sangat senang dengani’tikad baik Jokowi-JK yang satu ini. Selama ini sering sekali terjadi tindak penyelewengan penegakan hukum yang imbasnya hanya merugikan kalangan lemah, sementara kalangan elit dan berduit selau saja kebal hukum. Hal ini tentu membuat kita gerah dan rindu akan perubahan nyata.
Namun apa yang terjadi pada awal kepemimpinan Jokowi-JK justru membuat kita semakin miris, yakni saat terjadi kriminalisasi KPK. Beberapa ketua KPK ditangkap, serta diangkatnya Komjen Pol Budi Gunawan yang sebelumnya masuk dalam list merah KPK karena rekening gendutnya, dan kemudian dinyatakan sebagai tersangka.
Alih-alih memberantas korupsi, pemerintah justru membiarkan perangkat pembasminya dikebiri dan dilemahkan. Entah apa alasannya namun tindakan pemerintah Jokowi ini tentu membuat para pegiat antikorupsi dan rakyat secara umum kecewa dengan pemerintahan Jokowi-JK. Bagaimana hendak memberantas korupsi bila KPK dilemahkan dan orang-orang “bermasalah” justru diangkat di posisi-posisi penting penegakan hukum.
Selain dari permasalahan di atas, permasalahan lain juga muncul dari ketersediaan ruang fiskal. Meski ada ruang fiskal sebesar Rp 155 triliun dalam RAPBN Perubahan 2015, dana tersebut tidak cukup untuk mewujudkan agenda prioritas Jokowi-JK Nawa Cita. Pemerintah perlu lebih mendorong investasi dari swasta maupun BUMN, dengan yang tidak mencukupi untuk realisasi agenda prioritas Jokowi-JK Nawa Cita.
Dari ruang fiskal tersebut, sekitar Rp 94 triliun digunakan untuk menaikkan anggaran infrastruktur 47,96%, dari Rp 196 triliun dalam APBN 2015 menjadi Rp 290 triliun dalam RAPBN Perubahan 2015. Meski sudah dinaikkan, anggaran infrastruktur Indonesia masih jauh lebih kecil dari kebutuhan. Sedangkan sumber ruang fiskal adalah dari penghematan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang totalnya Rp 230 triliun, setelah pemerintah menghapus subsidi premium di Jawa, Madura, dan Bali serta memberlakukan subsidi solar tetap hanya Rp 1.000 per liter.
“Ruang fiskal itu belum cukup untuk menopang pencapaian Nawa Cita. Untuk belanja infrastruktur dan sarana kebutuhan pemerintah saja sedikitnya dibutuhkan Rp 400 triliun dalam APBN tahun ini,” kata Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof A Chaniago kepada Investor Daily di Jakarta, Minggu (11/1).[3]
Nawa Cita yang sejak awal digembar-gemborkan pada realisasinya belum memiliki perencanaan program yang jelas. Pemerintahan Jokowi-JK selama ini hanya melakukan blusukan demi blusukan, namun belum kunjung membuat perancanaan program yang jelas. Seharusnya bila benar-benar serius direncanakan mana program yang hendak dilaksanakan terlebih dahulu, mana yang ditunda. Bila tidak terealisasi semuanya pun tidak masalah selama sudah diupayakan secara maksimal realisasi sebagian agenda Nawa Cita.
Namun kerja yang dilakukan pemerintah kini seperti tanpa arah, belum jelas apa yang akan dikerjakan. Bila terus seperti ini, maka publik berhak mempertanyakan, bahkan menggugat. Jangan-jangan Nawa Cita hanya sebatas janji manis yang digunakan Jokowi-JK untuk meraih tampuk kekuasaan. Bila benar demikian, maka berarti rakyat kita sudah ditipu dan dipermainkan. Tidak selayaknya kita diam, kita akan terus melawan segala bentuk kedzaliman pada rakyat Indonesia. Semoga Allah selamatkan bangsa ini dari ketidakadilan penguasa.  


Sigit Arif Anggoro
Teknik Fisika UGM '12
Referensi:

No comments:

Post a Comment