8/28/2013

Save Indonesia



Bila beberapa waktu lalu kita sering menjumpai hashtag #SaveEgypt di berbagai media sosial, baik twitter, facebook dan sejenisnya, untuk sat ini saya akan sedikit membahas masalah Indonesia dengan mengangkat judul SaveIndonesia. Sebenarnya pemilihan judul ini samasekali tak ada kaitannya dengan kasus Mesir, tak ada niatan untuk menyaingi karena terlintas keingingan untuk membuat tulisan ini justru beberapa hari ketika kasus pembantaian demonstran di Mesir belum mencuat. Mulai terbersit keinginan untuk membuat tulisan ini saat berada di mobil dengan keluarga dalam perjalanan menuju Gresik menuju rumah keluarga ipar saya di sana.
Ketika itu kami sedang membicarakan maraknya kasus MBA “Married by Accident” yang terjadi di sekitar kita akibat pergaulan bebas yang semakin kebablasan, bahkan kasus demikian telah menimpa orang-orang di sekeliling kita di Blora, ini yang membuat saya miris. Ternyata sudah sampai sejauh itu, dan karena saking banyaknya kasus demikian saya takut nantinya malah akan dianggap sebagai satu hal yang lumrah-lumrah saja, tidak membuat kita ‘gumun’ dan tergerak untuk mencegahnya, na’udzubilah.
Berangkat dari kasus itulah saya sadar ternyata di Indoensia ini masih punya banyak masalah yang hingga kini belum terselesaikan. Mulai dari pergaulan bebas yang semakin tak terkendali, kasus korupsi yang tidak ada ujung-ujungnya, kasus penipuan, maupun di bidang ekonomi dan pendidikan yang terkadang masih terdapat ketimpangan.
Masalah demi masalah seakan terus bermunculan, yang satu belum selesai muncul masalah lain, seakan tak ada henti-hentinya turut mengiringi perjalanan Indonesia. Tentu tidak ada maksud untuk pesimis, merendahkan maupun menjelekkan negeri sendiri. Sama sekali tidak ada maksud demikian, hanya ingin memeperjelas di mana posisi kita dan ke mana kita harus melangkah setelah ini. Justru bahaya terbesar adalah ketika kita merasa sudah tidak punya masalah lagi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, hingga akhirnya tidak ada yang akan kita rubah, dan kita akan terus-terusan terjebak dalam kesalahan yang sama.
Seperti dalam melakukan suatu eksperimen, hal terpenting yang harus dilakukan seorang peneliti adalah merumuskan masalah, baru kemudian dari rumusan masalah itu coba kita carikan solusinya. Memang yang paling sulit, seperti kata dosen saya adalah merumuskan masalah itu sendiri, mencari tahu apa yang sebenarnya sedang kita hadapi, karena bila telah mampu mendefinisikan secara jelas permasalahan itu kita tentu akan lebih mampu untuk mencarikan solusinya.
Dan inilah kenyataannya, negara kita memang memiliki berbagai permasalahan yang perlu untuk segera diselesaikan. Meski secara resmi kita telah merdeka, dan saya mensyukuri itu, namun bukan berarti perjuangan kita cukup sampai disini. Negara ini masih “sakit” dan perlu untuk segera disembuhkan.
Save Indonesia! Negara in membutuhkanmu, wahai pemuda Indonesia. Berhentilah menambah masalah negeri dengan kebodohan sikap dan perbuatanmu. Engkau yang seharusnya menjadi tulang punggug bagi perbaikan bangsa ini. Engkaulah calon pemimpin bangsa ini. Seharusnya engkau yang menjadi agent of change, namun kini kau malah jadi pihak yang perlu diubah dan diperbaiki.
Bukalah kedua matamu, segera bangun dari tidurmu, ada yang lebih penting untuk dipikirkan. Ada yang lebih penting ketimbang memikirkan romantisme buta dan cinta-cintaan ala remaja. Ada yang lebih penting ketimbang memikirkan ‘si dia’. Ada yang lebih penting dari game yang membuatmu kecanduan, ada yang lebih penting dari itu semua.
Bangunlah pemuda Indonesia, bangsa ini membutuhkanmu! Bangsa ini merindukan sosok pemuda yang akan mengguncangkan dunia. Engkau yang seharusnya berada di garda terdepan perbaikan bangsa ini kini malah menambah masalah bangsa dengan perilakumu yang kebablasan. Bangunlah dan bersama-sama mulai kita selamatkan Indonesia. Berhentilah menyusahkan bangsa, dan berusahalah membantu bangsa ini menuntaskan permasalahannya.
Kalau bukan kalian siapa lagi? Mereka yang di atas, sebentar lagi akan terganti. Bila bukan kalian siapa lagi? Kalianlah yang seharusnya palih teguh memegang kebenaran, tak terpengaruh pihak-pihak  berkepentingan .
Save Indonesia! Berbagai permasalahan di negeri ini masih menanti untuk dipecahkan. Bila tak mampu memperbaiki seluruhnya paling tidak jangan menambah masalah dengan menjadi pihak-pihak yang bermasalah. Berhentilah dari semua kebodohanmu, buka matamu dan bersama-sama kita menjadi agen penyelamat bagi bangsa ini.
 Tak perlu menunggu pemerintah untuk menyelematkan negeri. Cukup dengan berhenti menambah masalah dan beralih menjadi agen-agen pemecah masalah.  Jadilah yang memperbaiki disaat yang lain merusak, jadilah yang memberi harapan baru, di saat yang lain mengecewakan. Kerahkan seluruh daya upayamu demi perbaikan negeri, jangan mengharapkan imbalan kecuali dari sang Ilahi. Lakukanlah dengan cinta, karena cinta itulah yang akan membakar semangat dihati, menghilangkan segala kemalasan, dan memberi ketegaran untuk tetap berjuang meski mendengar kabar memilukan.
Bangunlah sahabatku, selamatkan bangsamu,  selamatkan Indonesia!
Harapan itu masih ada dan akan selalu ada.
Semoga Allah selamatkan bangsa ini dari segala keburukan, dan menjadikannya baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur(Negeri yang baik dengan ampunan Dzat Yang Maha Pengampun). Aamiin.
 Sigit Arif Anggoro
TekFis UGM  '12

8/10/2013

Memang Tak Mudah untuk Mengingatkan



Ada yang berbeda dari Ramadhan tahun ini. Bila biasanya Ramadhan dengan keluarga di Blora, kali ini hampir sebulan saya habiskan hari-hari Ramadhan di Jogja, lebih tepatnya di pondok pesantren Al Barokah tempat saya berteduh dan menimba ilmu agama. Memang Ramadhan ini di pondok saya semakin padat kegiatannya. Mulai dari ngaji kitab, ngaji qur’an, tarawih, tadarrus, hingga beberapa perlombaan yang diselenggarakan panitia Ramadhan pondok.
Kebetulan untuk tahun ini saya pribadi juga diminta membantu kepanitiaan yakni di bagian keamanan. Tugasnya sebenarnya simpel, hanya ‘ngoprak-oprak’(mengingatkan) santri lain untuk segera mengikuti berbagai kegiatan pondok. Mulai dari membangunkan sahur, mengingatkan Shubuh berjamaah, mengingatkan ngaji, tarawih, dan kegiatan-kegiatan Ramadhan lain yang sudah disiapkan panitia acara. Dengan tugas lainnya membuat jadwal piket lebaran.
Intinya saya harus memastikan santri mengikuti rangkaian kegiatan Ramadhan tepat pada waktunya. Di sini yang menjadi tanggung jawab saya hanya teman-teman sekomplek, yakni komplek Al-Fatih, sementara untuk komplek lain sudah ada penanggungjawab keamanannya masing-masing. Karena berjalannya ketika sudah mulai acara, di awal-awal rapat tidak ada kesulitan, tidak seperti bagian acara yang harus mengkonsep detail acara, atau humas yang harus mengurus perizinan dan menghubungi jamaah terkait ta’jil dan sejenisnya, kita tenang-tenang saja tak ada persiapan berarti karena memang tak membutuhkan persiapan.
Awalnya saya kira tugasnya akan ringan-ringan saja, karena memang tak serumit panitia lain seperti yang dari acara, humas, atau konsumsi, sangat simpel dan jelas tugas yang harus kami lakukan. Namun ternyata setelah dijalani, tak semudah yang dibayangkan. Butuh kesabaran ekstra untuk konsisten keliling ke kamar-kamar di komplek kami dan mengingatkan penghuni-penghuninya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pondok. Bagaimana tidak setiap hari harus keliling membangunkan sahur, shubuh, ngaji sore, ngaji ba’da maghrib, tarawih.
Untuk sehari saja paling tidak lima kali kami harus keliling mengingatkan teman-teman santri. Padahal tak hanya sehari, setiap hari sejak awal Ramadhan sampai akhir kami harus berulang-ulang mengerjakan tugas ini. Tentunya membutuhkan kesabaran lebih, dan tidak boleh bosan-bosan mengingatkan karena itulah yang sudah menjadi tugas keamanan.
Mungkin akan sedikit mudah bila yang diingatkan tanggap  dan langsung berangkat ketika kita ingatkan namun  masalahnya tidak semua santri bisa demikian. Pada kenyataannya kita harus menghadapi watak santri yang berbeda-beda. Ada yang ketika diingatkan langsung tanggap, tapi kebanyakan tidak menghiraukan, dan tak mau langsung bergerak mengikuti kegiatan pondok. Meski sudah diingatkan tetap saja bermalas-malasan tak mengindahkan ajakan kami, inilah yang terkadang membuat capek, apalagi setiap hari harus berhadapan dengan hal demikian.
Ketika kita coba memberi contoh dengan hadir lebih awal dikatakannya “Keamanan kok datang duluan? harusnya belakangan datangnya ingatkan teman-teman dulu baru berangkat!”. Ketika kita coba mengingatkan dengan lembut malah tak dihiraukan, dikatakannya “Kalau mengingatkan yang tegas donk! Kalau lembek gitu nggak akan dihiraukan”. Ketika kita coba untuk lebih tegas, hingga kadang memukul santri dengan sajadah malah dimarahi dan dikatakannya “Kalau mengingatkan yang sopan, tak perlu keras-keras!”. Lalu sebagian mencoba bijak menasihati “satu tauladan lebih baik dari seribu ucapan, daripada mengingatkan terus seperti itu lebih baik kamu beri contoh berangkat duluan!” Padahal sebelumnya sudah mencoba demikian dan hasilnya pun nihil.
Selalu berputar-putar seperti itu, semua yang kita kerjakan seakan tidak ada benarnya. Kalau mencoba memberi contoh, berangkat duluan dikatakan melalaikan tugas. Kalau mengingatkan secara lembut, dikatakan tak tegas. Kalau mengingatkan dengan tegas dikatakan tak sopan malah dikatakan lebih baik memberi contoh baik daripada mengingatkan terus. Tidak ada benarnya, semuanya terlihat salah dalam pandangan mereka.
Pada akhirnya saya pun belajar. Memang demikianlah karakteristik manusia ketika diajak atau diingatkan pada kebaikan. Tidak semuanya akan sanggup menerima dengan baik. Meskipun telah kita gunakan metode terbaik, akan selalu saja alasan untuk mengorek-ngorek cela kita. Dan pada akhirnya bila menuruti perkataan manusia tidak ada yang cukup benar untuk dilakukan.
Tugas kita sebenarnya hanyalah mengingatkan, dan terus mengingatkan. Adanya penolakan sudah menjadi hal yang wajar, dan jangan dijadikan alasan untuk berhenti mengingatkan. Tidak usah pedulikan komentar mereka, yang penting kita sudah mencoba mengingatkan dan menggugurkan kewajiban. Adapun mengenai hasil biar Allah yang menentukan, karena bukan hak kita pula memberi hidayah pada orang yang kita kehendaki.
Adanya penolakan hendaknya jangan terlalu dijadikan beban pikiran, susah sendiri jadinya. Tetap tenang dan terus mengingatkan, insya Allah dengan keistiqomahan kita itulah lama-kelamaan hati mereka bisa luluh dan beralih mengindahkan peringatan. Tugas kita hanya mencoba semaksimal mungkin untuk mengingatkan, jangan karena ada penolakan kita jadi futur dan merasa usaha kita tak ada gunanya. Sedikit banyak pasti berguna, entah sekarang atau nanti kita jangan tergesa-gesa mengharapkan hasilnya, sekali lagi fokus pada tugas bukan hasil.
Asal tugas sudah kita kerjakan dengan baik, maka sisanya tinggal tawakkal. Dan jangan lupa juga tetap didoakan, karena doa adalah senjata seorang mukmin. Setelah mencoba istiqomah, pada akhirnya terbukti beberapa anak ada yang mulai simpati bahkan akhirnya membantu kami untuk mengingatkan santri-santri lainnya. Inilah buah dari kesabaran itu, dengan terus bersabar ketika menghadapi berbagai gangguan dalam mengingatkan lama-kelamaan orang yang melihat kita akan bersimpati dan beralih mendukung usaha kita.
Apa yang kita lakukan ini tentu belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan Rasulullah dalam mendakwahkan islam pada ummatnya. Bahkan ia harus bersabar dalam mendakwahi mereka yang jelas-jelas masih dalam kekafirannya. Tak sekedar penolakan, bahkan sampai cemoohan, teror fisik, hingga upaya-upaya pembunuhan pun telah beliau alami. Namun semua itu tak membuatnya sedikit pun berkeinginan untuk berhenti berdakwah. Bahkan ketika ditawari harta, tahta dan wanita untuk menghentikan dakwahnya pun ditolaknya.
“Wahai paman, meski pun mereka meletakkan matahari di kananku dan bulan di kiriku agar aku berhenti dari da’wah ini, pastilah tidak akan kulakukan. Hingga nanti Allah Subhana Wa Ta’ala menangkan da’wah ini atau aku mati karenanya”, sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Alangkah malunya diri ini bila melihat perjuangan beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Malu sekali bila baru mengingatkan sedikit kita sudah mundur karena mendapat penolakan. Malu bila berhenti mengingatkan hanya karena tak mendapatkan jawaban dari seruan.
Alhamdulillah, saya belajar banyak Ramadhan ini. Mulai sekarang tak perlu risau lagi ketika mendapat penolakan saat mengingatkan dan mengajak pada suatu kebaikan. Karena memang dakwah tidaklah cukup sekali dua kali mengingatkan namun sebuah proses panjang untuk mengubah dan memperbaiki pribadi individu-individunya. Ketika ditolak pun jangan pernah menganggap kita telah gagal sepenuhnya, dan telah sia-sia upaya kita karena barangkali dengannya suatu hari nanti hatinya akan luluh dan beralih mengerjakan kebaikan yang kita serukan.
 Batu yang keras pun bisa retak dengan tetesan-tetesan air yang berulang-ulang, seperti itu pula hati yang keras, dengan sedikit demi sedikit peringatan barangkali bisa berubah. Toh kalau pun pada akhirnya tak berubah, setidaknya Allah telah mencatat amal kita dan telah gugurlah kewajiban kita. Mudah-mudahan Allah anugerahkan kepada kita hidayah-Nya hingga senantiasa tergerak untuk melakukan perbaikan. Wallohua’lam bishshowwab ^^
“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”
“Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), ‘Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung.”
Sigit Arif Anggoro




8/06/2013

Jalan ini Jalan Penuh Rintangan



“Semakin tinggi pohon semakin kencang angin menerpa” begitu kata pepatah, nampaknya hal ini lah yang bisa kita gunakan untuk menunjukkan betapa semakin tinggi kedudukan seseorang di mata Allah maka akan semakin berat pula ujian dan cobaannya. Beratnya ujian berbanding lurus dengan tingginya derajat seorang hamba. Setiap hamba-Nya yang terpilih pasti mengalami ujian dan cobaan, bahkan hingga para Nabi dan Rasul pun mengalami ujian.
Ada Nabi Nuh a.s. yang berdakwah hingga beratus-ratus tahun namun hanya mendapat pengikut segelintir orang. Ada Nabi Ibrahim yang harus menyembelih puteranya sendiri padahal baru berjumpa setelah lama berpisah. Ada Nabi Musa yang harus melawan Fir’aun dan bala tentaranya yang adikuasa, ada Nabi Dawud yang harus melawan Jalut. Ada juga Nabi Ayyub yang harus bersabar atas penyakit yang menimpanya.
Semua Nabi dan Rasul diuji, demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Makhluk yang paling Allah cintai ini pun tak luput dari ujian. Bahkan bisa dikatakan ujian beliau adalah yang paling berat diantara yang lainnya. Mulai dari ejekan, kecaman bahkan pernah sampai dilempari kotoran. Baik secara fisik maupun mental Rasulullah menjadi seorang yang paling banyak mendapatkan cobaan.
Dari sisi fisik seperti ketika harus diboikot oleh bangsa Arab, hingga terputus pintu perdagangan dan kesulitan untuk mencari makanan guna mempertahankan kehidupannya. Tak lupa ketika beliau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam harus dilempari batu saat mencoba mendakwahi rakyat Thaif, namun anehnya bukannya mendendam beliau malah mendoakan mereka dengan doa terbaiknya. Masih teringat pula ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam harus  mengalami cedera dan luka parah, terperosok dalam lubang, gigi patah, dan darah mengalir deras di wajahnya saat perang Uhud. Dan beliau pula lah yang menahan laparnya dengan mengganjal perutnya dengan dua batu di saat umatnya mengganjal perut mereka dengan satu batu dalam perang Ahzab.
 Belum lagi ujian mental. Mulai dari wafatnya istri dan paman beliau di waktu yang hampir bersamaan. Padahal selama ini mereka berdua yang selalu melindungi dan menyokong dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga dikatakanlah tahun tersebut, tahun kesedihan. Juga beredarnya fitnah yang menyakitkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilancarkan kaum munafiqun terhadap istri Nabi, ‘Aisyah r.a. Dan masih banyak lagi beban mental yang menimpa Nabi dalam perjuangannya menegakkan kalimatullah.
Kemudian timbul pertanyaan mengapa tidak Allah mudahkan jalan mereka? Padahal mereka adalah orang-orang yang paling dikasihi-Nya? Bila Allah mau mudah saja bagi-Nya untuk mengalahkan semua musuh-musuh mereka. Mudah sekali bagi-Nya untuk menjadikan semua umat mereka beriman, tapi mengapa Allah tak melakukan semua itu dan justru membiarkan mereka menempuh jalan yang tak mudah dan penuh rintangan?
Semua ini hendak Allah jadikan pelajaran bagi kita semua. Bahwa adanya ujian dalam perjuangan di jalan-Nya adalah suatu hal yang lumrah. Allah hendak  memilah-memilah, memisakan antara yang beriman dengan yang ragu, antara yang bersabar dengan yang menyerah, antara yang berjihad dengan yang duduk diam. Dengannya Allah tinggikan derajat orang-orang yang mampu bertahan, dan dengannya Allah hinakan orang-orang munafik yang masih terjebak dalam keragu-raguannya. Seperti ketika turun perintah untuk berjihad, maka seorang beriman akan langsung memenuhi panggilan jihad tanpa takut kehilangan harta, waktu, hingga nyawanya. Namun bagi si munafik, ia akan langsung mundur ke belakang, mengurai berjuta alasan untuk tak ikut terjun ke medan perang.
Seorang yang beriman ketika diuji dengan ujian yang berat akan terus bersabar, dan yakin bahwa Allah tidak akan menguji seseorang melebihi kemampuannya. Yakin pula di balik semua ujian ini Allah telah menyiapkan akhir yang baik bagi kita baik di dunia maupun di akhirat nanti. Seperti itu pula kemenangan umat Islam, ketika mampu bersabar maka Allah beri kemenangan gemilang. Padahal sebelumnya selalu diteror dan tidak punya daya untuk melawan, namun hanya dalam beberapa tahun mampu membalik keadaan dan menaklukan seisi Makkah di bawah bendera Islam.
Ada satu pola yang hampir selalu sama yang akan dialami seorang penyeru kebenaran. Yang pertama adalah berjuang di jalanNya, menyeru pada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar. Kemudian bersabar terhadap apa-apa yang menimpanya dalam jalan perjuangannya. Lalu yang terakhir adalah kemenangan yang Allah anugerahkan sebagai buah kesabaran dalam menempuh jalan kebenaran ini. Seperti itulah yang Allah anugerahkan kepada Nabi Musa ketika menghadapi Fir’aun dan bala tentaranya, seperti itu pula yang Allah anugerahkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat ketika mendakwahkan islam pada ummatnya.
Awalnya menyeru ummat pada kebenaran Islam. Kemudian harus bersabar atas segala cercaan, siksaan dari kaum Quraisy yang tidak menyukai dakwahnya. Bertahun-tahun Rasulullah dan sahabat berada dalam kondisi sulit, diuji dengan berbagai teror dari kaum Quraisy. Namun pada akhirnya, dalam waktu yang begitu singkat Allah muliakan ummat islam hingga mampu membangun basis massa di Madinah, mampu memberi perlawanan hingga akhirnya Allah anugerahkan kemenangan yang dekat (Fathun qoriib).
Begitu pula kita bila hendak mencapai keberhasilan dalam segala perjuangan kita. Adanya ujian dan rintangan harusnya tak membuat kita mundur dan berbalik ke belakang, karena sudah menjadi hal yang lumrah seorang akan diuji ketika memperjuangkan kebenaran. Tidak perlu takut dan panik ketika ada yang memusuhi. Adanya pihak-pihak yang memusuhi bukan berarti kita telah salah dalam menyampaikan, dan bukan berarti yang kita sampaikan adalah suatu kesalahan. Karena sudah menjadi hal yang lumrah bila disampaikan kebenaran, orang-orang yang tidak menyukai kebenaran itu akan memusuhi, karena sudah menjadi sunnatullah-Nya ada orang yang mengikuti kebenaran dan ada yang memusuhi, ada yang beriman ada yang kafir, justru patut dipertanyakan bila perjuangan kita tidak menemui halangan, rintangan atau tidak ada yang memusuhi. Barangkali kita belum benar-benar berjuang atau yang kita perjuangkan bukanlah kebenaran itu sendiri.
Namun bukan berarti pula ketika banyak yang memusuhi pertanda kita di pihak yang benar. Kita perhatikan siapa yang memusuhi, apakah dari orang-orang beriman atau yang fasik, karena bila yang memusuhi orang-orang beriman maka bisa jadi kita memang telah membuat suatu kesalahan. Karena mukmin satu dan mukmin lainnya bagaikan cermin, seorang mukmin tidak akan mengingatkan sesuatu kepada saudaranya melainkan apa yang benar dan terbaik baginya. Maka perhatikanlah dan jangan remehkan nasihat dari saudara-saudaramu yang beriman.

Hendaknya kita tetap berjuang, terus bermunajat memohon pertolonganNya, dan bersabar hingga datangnya hari-hari kemenangan. Kemenangan itu dekat, tinggal kita mau sabar atau tidak dalam menanti datangnya pertolongan Allah. Allah hanya ingin melihat sejauh mana perjuangan kita, sejauh mana mujahadah kita dalam menolong agama-Nya. Dengannya Allah ingin agar kita melanggengkan ubudiyah kita, membuktikan keimanan kita dengan jatuh bangun di medan perjuangan, tak sekedar menjalankan ibadah ritual namun lebih luas lagi, berjihad dan bersabar dalam perjuangan menolong agama-Nya.
Ada satu hal yang menarik di sini, ketika kaum muslimin telah memperoleh kemenangan, maka yang dilakukan bukannya bersenang-senang dengan kemenangannya namun malah memutuskan untuk terus berjuang meninggikan kalimatullah di bumi-Nya. Mereka tahu kenikmatan sejati adalah kenikmatan di akhirat nanti, sementara dunia tidak lain hanyalah lahan untuk menanam, berjuang, dan berjihad membuktikan keimanan yang telah diikrarkan. Kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan yang melalaikan. Maka selesai dari satu pekerjaan, mereka akan beralih mengerjakan pekerjaan lainnya demikian terus berlanjut hingga kematian menjemputnya.
“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)
Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman 17)
“Bersabarlah dirimu sebagaimana bersabarnya Ulul Azmi dari para rasul dan janganlah kamu meminta disegerakannya adzab bagi mereka (kaum musyrikin)” (al-Ahqaf : 35)
 “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (az-Zumar : 10),
Wallohua’lam bisshowwab
Sigit Arif Anggoro
TF UGM ‘12

Ramadhan Bulan Tarbiyah



Kehadiran bulan Ramadhan merupakan anugerah besar yang telah Allah berikan kepada umat manusia. Inilah bulan diturunkannya Qur’an, dilipatgandakannya pahala, dibukanya lebar-lebar pintu taubat, serta dibukanya pintu surga. Inilah kesempatan yang tepat untuk benar-benar bertaubat, inilah momen yang tepat untuk semakin mendekat kepada-Nya. Inilah bulan tarbiyah, dimana kita di’gembleng’ sebulan penuh untuk mengoptimalkan amal shalih dan menjauhi segala perbuatan yang tidak bermanfaat lebih-lebih maksiat. Banyak hal yang kita dapat ambil pelajaran dari kehadiran bulan Ramadhan ini.
Di bulan inilah kita dilatih untuk sabar. Mulai dari sabar menahan makan, minum dan segala perkara yang membatalkan dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Sabar untuk menjauhi segala hal yang bisa mengurangi pahala puasa. Sabar dalam memperbanyak amal-amal shalih, seperti memperbanyak tadarrus, sholat malam (tarawih), dan ibadah-ibadah lain yang pada umumnya tidak kita lakukan di bulan-bulan selain Ramadhan.
Semua orang yang beriman pasti diuji kesabarannya, tak terkecuali para Nabi dan Rosul, justru mereka yang paling berat ujiannya dan paling besar kesabarannya. Kualitas keimanan seseorang dapat dilihat sejauh mana ia mampu bersabar ketika diuji. Sedangkan sabar sendiri dibagi tiga, sabar dalam menjalankan ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat dan sabar ketika ditimpa musibah. Tentu bila dibandingkan ujian para Nabi, perintah puasa sebulan penuh ini tidak ada apa-apanya, kesabaran yang dilakukan pun masih jauh dari kesabaran mereka dalam mengemban risalah.
Setidaknya ini memberikan gambaran, bahwa memang seorang muslim yang ingin mulia di akhiratnya harus mampu bersabar dalam segala hal di dunianya. Dunia ini bukan tujuan akhir, inilah sarana kita untuk menanam, beramal shalih, berjihad di jalan-Nya dan mencari keridhoan-Nya. Bagi seorang muslim lelah sebentar di dunia tidak menjadi masalah karena di akhirat nanti disempurnakan balasan atas segala amal shalihnya, lebih baik sabar sekarang daripada menyesal esok hari. Hanya dengan bersabar menempuh jalan-Nya inilah kita mampu meraih kebahagiaan sempurna di akhirat nanti.
Selain sabar kita juga belajar ikhlas di bulan ini. Karena di bulan inilah sebulan penuh kita puasa, sedang puasa itu sendiri tidak ada yang tahu kecuali kita dan Allah. Bahkan Allah sendiri yang menilai dan memberi pahala atas puasa kita. Bila kita mau mungkin kita bisa diam-diam membatalkan saat orang lain tak melihat. Namun nyatanya kita tetap bertahan meski tidak ada yang melihat karena memang puasa kita bukan sesuatu yang hendak dipamer-pamerkan melainkan hanya untuk Allah semata.
Di sinilah kita belajar muraqabah, merasa selalu diawasi oleh-Nya. Meskipun tidak ada yang melihat kita tetap menjaga puasa kita karena tahu Allah sendiri yang mengawasi kita dan akan menilai puasa kita. Di sinilah kita belajar ihsan, yakni engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, bila tidak mampu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia(Allah) melihat kita.
Perasaan merasa selalu diawasi inilah yang begitu penting untuk dimiliki setiap insan. Karena dengannya lah kita akan tetap teguh berbuat benar meski tidak ada orang yang melihat. Dengannya lah kita tetap jujur dan tidak mencontek saat ujian meski tidak ada petugas yang melihat. Dengannya kita tetap jujur dan tidak korupsi ketika diberikan suatu amanah yang berkaitan dengan dana. Dengannya seorang pedagang tidak mengurangi timbangannya untuk mencari keuntungan secara curang. Semuanya tetap berbuat adil meski tidak ada yang melihat karena tahu sebenarnya Allah senantiasa melihat amal-amal kita.
Selain itu kita juga belajar untuk lebih peka di bulan Ramadhan ini. Dengan langsung merasakan laparnya hari-hari puasa kita harusnya sadar, betapa tidak mudahnya apa yang dirasakan mereka yang kekurangan. Kita berpuasa dari fajar hingga maghrib, lalu setelahnya bisa berbuka dengan makanan yang enak-enak? Namun bagaimana dengan kondisi mereka?
Mereka lapar karena memang tak ada yang bisa dimakan, pun kalau sudah bisa makan hanya makanan seadanya yang bisa mengganjal perutnya. Kita puasa hanya sebulan ini, sedang mereka berpuasa di bulan-bulan lainnya karena memang tak punya sesuatu untuk dimakan. Kita puasa justru menghamburkan banyak uang untuk sekedar berbuka, namun mereka di sana justru tidak terpikirkan. Sungguh puasa kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan penderitaan mereka di bulan-bulan lain.
Maka dari itulah setelah puasa disyariatkan zakat, supaya kita sadar dalam harta kita ada hak mereka yang membutuhkan. Di luar sana ada orang-orang yang masih membutuhkan uluran tangan kita. Harusnya kita mampu disadarkan dengan puasa ini, namun bila sampai akhir tidak sadar itu berarti kita masih kurang peka, kurang mampu menangkap hikmah-hikmah dibalik syariat puasa Ramadhan ini. Di sinilah kita diingatkan untuk lebih peka, membantu dan menyantuni yang kekurangan, bukannya menumpuk harta yang telah Allah berikan.
Begitu banyak pelajaran yang bisa diambil dari Ramadhan. Kita banyak berlatih di bulan ini, maka alangkah ruginya orang yang sudah dilatih namun masih belum mampu berubah. Alangkah ruginya yang tidak mampu mengambil pelajaran dan tidak mampu berubah setelah dididik di bulan Ramadhan. Semoga kita termasuk yang mampu mengambil pelajaran dan berubah lebih baik lagi pada hari-hari setelah Ramadhan. Keep istiqomah!
Wallohua’lam bisshowwab