1/30/2018

Berkah dari konflik Cebong vs Kampret



     Akhir-akhir ini saya sering mendengarkan ceramah dari Gus Baha melalui channel Youtube. Selain untuk memperlancar ketrampilan maknani kitab kuning saya yang masih begitu-begitu saja, isi kajiannya juga cukup ilmiah sehingga menarik untuk terus diikuti.

     Salah satunya beliau pernah menyampaikan bahwa hasud (dengki) dan permusuhan sesama muslim itu meskipun memang jelek pada kenyataannya juga membawa berkah tersendiri bagi penyebaran dakwah Islam. Misalkan saja konflik antar Gus (istilah untuk anak/mantu Kiai) dalam suatu pondok pesantren yang akhirnya membuat beberapa diantaranya memilih untuk hijrah dan mendirikan pesantren sendiri yang kemudian hari malah menjadi besar. Meski hasud itu jelek namun akhirnya membawa berkah karena penyebaran dakwah islam menjadi semakin luas tidak terkungkung di satu lokasi saja.

     Lain masalah dakwah lain masalah politik. Kontestasi politik yang berkembang saat ini telah melahirkan dua kelompok besar (setidaknya terlihat besar) yang menunjukkan konflik yang tampaknya tak akan mudah terselesaikan sampai Fahri Hamzah menjadi RI 1. “Cebong vs Kampret” begitu orang-orang menamakannya. Berakhirnya Pilpres 2014 dengan terpilihnya Bapak Jokowi sebagai Presiden ternyata tidak mengakhiri konflik kedua kubu ini. Malah semakin memanas lagi terlihat pada kontestasi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 kemarin.
Buah dari konflik ini adalah munculnya pengawasan yang cukup ketat bagi petahana dari kubu yang berlawanan. Pak Jokowi yang didukung kubu “cebong” akan selalu dikritisi kebijakannya oleh kubu “kampret” dan dicari-cari kesalahannya untuk dijatuhkan. Sebaliknya Pak Anies yang didukung kubu “kampret” menjadi bulan-bulanan oleh kritikan dari kubu “cebong” atas kebijakan-kebijakannya yang dinilai kontroversial.

      Hampir setiap hari di lini masa sosial media kita selalu ada saja postingan dari salah satu kubu ini. Pihak Anies-Sandi juga terus dibully atas kebijakannya mulai dari penataan tanah abang, reklamasi, penanganan banjir, DP 0%, penataan motor dan becak, hingga perkara memakai sepatu kets dalam kegiatan dinasnya. Sebaliknya, Pak Jokowi terus diserang mulai dari masalah hutang luar negri, UU Ormas, kriminalisasi ulama, tenaga kerja china, kenaikan harga-harga, impor Beras, hingga saat memakai kaos dalam kegiatan dinasnya . Setimpal!

    Apa yang terlihat baik oleh satu kubu, akan diputar balik menjadi terlihat salah oleh kubu lawannya. Pembangunan infrastruktur misalnya, yang dilihat oleh kubu “cebong” sebagai prestasi gemilang Pak Jokowi, oleh kubu “kampret” dianggap sebagai upaya menambah hutang luar negri yang justru akan menyengsarakan bangsa di kemudian hari. Penataan motor dan becak oleh Pak Anies, yang oleh kubu “kampret” dianggap sebagai prestasi dalam keberpihakan terhadap rakyat kecil, oleh pihak “cebong” dianggap sebagai kebijakan yang justru akan meningkatkan kesmrawutan DKI Jakarta. Masing-masing pihak mendadak menjadi begitu kritis dan vokal berpendapat atas kebijakan baru yang dikeluarkan lawan politiknya.

     Meski kita terkadang jengah dengan hoax yang sering beredar serta perang argumen yang tiada hentinya ditampilkan di media sosial ini, namun perlu kita syukuri bahwa inilah perwujudan dari partisipasi aktif masyarakat pada jalannya pemerintahan. Bukankah dengan ini petahana menjadi super hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan supaya tidak menjadi bahan bully-an kubu lawannya? “Cebong” dan “kampret” telah berhasil mengambil alih peran mahasiswa sebagai agen social control! Selama masih ada “cebong” dan “kampret”, mahasiswa bisa tetap tenang menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya, membaca buku teksbooknya yang tebal-tebal itu, atau sekedar cangkrukan dan ngopi-ngopi guna menghilangkan stres atas beratnya beban perkuliahan di kampus.  Inilah keberkahan yang nyata! Hidup Cebong & Kampret Indonesia!

Yogyakarta, 29 Januari 2018

Sigit Arif Anggoro, S.T.