6/27/2016

KKN Nglebak 2015



Bismillahirrohmaanirrohiim

Assalamu’alaikum readers! Lama tak menyapa melalui kata. Tidak terasa waktu berlalu begitu cepatnya. Padahal rasanya baru kemarin masuk kampus biru tercinta. Rasanya baru kemarin ikut PPSMB dan dipanggil maba. Namun tak terasa ternyata waktu berputar begitu cepat hingga aku tiba di penghujung semester VI yang berarti sudah waktunya menjalani mata kuliah wajib 3 SKS yang biasa disebut dengan KKN (eits, bukan Korupsi, Kolusi, Nepotisme ya!) .  

Lebih lengkapnya disebut dengan KKN-PPM, yakni Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pengabdian Masyarakat Universitas Gadjah Mada. Ini adalah program wajib bagi setiap mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Program yang dirintis oleh Prof. Koesnadi ini sudah menjadi percontohan dan diterapkan di banyak universitas lain. Sebagai bukti dari trilogi fungsi perguruan tinggi yakni, pendidikan, penelitian serta pengabdian masyarakat.

Kampus tidak seharusnya memberikan jarak kepada masyarakat. Pendidikan yang dibiayai oleh uang rakyat seharusnya dapat memberikan buahnya kembali kepada masyarakat. Melalui program ini mahasiswa dituntut untuk mandiri, tampil percaya diri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat, turut serta memecahkan permasalahan di setiap daerah yang ditempatinya. Bila dijalankan dengan baik tentu program ini akan mampu menjadi perintis pembangunan daerah tertinggal.

Berawal dari KKN banyak sekali permasalahan di daerah-daerah yang kemudian bisa mulai dipecahkan. Sesuai kepanjangannya, dari program ini setidaknya didapatkan manfaat baik bagi mahasiswa maupun daerah ditempatkannya tim KKN. Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat, dengan program ini mahasiswa mampu belajar untuk bekerjasama dalam tim, menyusun rencana kegiatan, problem solving, public speaking, tentunya akan melengkapi mahasiswa dengan soft skill yang tidak didapatkan di kelas-kelas perkuliahan.

Dengannya mahasiswa juga bisa mengenali permasalahan yang ada di daerah-daerah sehingga kelak bila menjadi pemimpin akan memiliki kepekaan dan kepedulian pada pembangunan daerah tertinggal. Cukup, mungkin ini saja penjelasan mengenai program KKN PPM ada banyak hal lebih menarik yang akan saya ceritakan kali ini.

Karena waktu itu masih disibukkan dengan persiapan muktamar KMT saya tergolong kurang merencanakan jauh-jauh hari terkait KKN PPM. Rencana awal ingin mengikuti plotting dari LPPM, tidak tergabung dengan tim pengusul, namun takdir berkata lain. Karena saat saya lihat di data LPPM ternyata ada tempat KKN di Blora, kampung halaman saya sendiri, dan saat itu belum ada yang mengambil saya jadi tergerak untuk mengambilnya padahal waktu itu pendaftaran sudah sangat mepet. Alasan lain karena temanya yang sesuai dengan bidang yang saya ambil yakni tentang Optimasi PLTS.

Gambar 1. PLTS di dusun Nglebak.
Setelah memutuskan hendak mengambil ternyata keesokan harinya sudah ada mahasiswa lain yang mengambil, menjadi kormanit, yakni Alfian Nahar (ELINS 2012). Alfian menawarkan di grup KKN terkait pendaftaran menjadi tim pengusul di unitnya. Tanpa pikir panjang saya pun langsung mendaftar dengan menjelaskan keunggulan saya, yakni sebagai putra daerah dan jurusan yang saya ambil sesuai tema.
Setelah itu bergabunglah saya sebagai tim pengusul, waktu itu masih sedikit sekali, belum ada sepuluh anggota yang bergabung saat kumpul pertama.

Saat survei pertama bersama tim pengusul dengan mengendarai mobil Ganda (Teknik Elektro 2012). Kita memutar dari Blora, Cepu, Bojonegoro, Ngawi hingga ke lokasi. Karena lokasi kami merupakan daerah perbatasan Blora-Ngawi. Perjalanan dari Blora kota ke lokasi hampir 3 jam, tidak seperti yang saya kira.
Mendekati lokasi kami melihat sendiri bagaimana jalan menuju lokasi rusak parah, sangat sulit dilalui mobil, sampai-sampai kami heran mengetahui ada peradaban manusia di dalamnya. Sedangkan jalan yang langsung ke arah Blora lebih jelek lagi, dan dipisahkan oleh hutan jati yang sangat luas. Saya sampai terheran mengapa daerah ini bisa masuk Kabupaten Blora.

Saya juga dikagetkan karena di dekat lokasi ada tugu segi empat besar yang berisikan lambang “Persaudaraan Setia Hati Terate”, organisasi beladiri yang kebetulan waktu itu juga saya ikuti. Ketika di desa lokasi pun berkali kali saya menemukan lambang serupa baik yang yang dibentuk tugu maupun sebatas gambar hati bersinar di dinding rumah.

Setelah saya tanyakan ternyata memang mayoritas sudah bergabung menjadi warga Persaudaraan Setia Hati Terate. Saya pun takjub, bagaimana mungkin di tempat terpencil seperti ini organisasi ini bisa berkembang begitu pesatnya hingga diterima warga sedesa.

Seiring berjalannya waktu unit kami terus mengumpulkan anggota serta mengumpulkan dana tambahan. Saya ditunjuk menjadi koordinator danus, karena sebelumnya berkali-kali pernah ngedanus di event fakultas atau jurusan. Singkat waktu sampai mendekati akhir, anggota unit kita berjumlah 20 anak, tepat sesuai batas minimum dan saya dipilih menjadi kormasit, untuk sub unit Kudu.

Kudu sebenarnya bukan dusun, masuk bagian dusun Plumbon, yakni RT 3 di Plumbon. Namun lokasinya lebih terpencil lagi, terpisah jauh oleh hutan jati dan akses jalannya pun lebih parah dari yang lainnya namun berbatasan langsung dengan Sungai Bengawan Solo. Berdasarkan cerita dari Pak Carik daerah ini tertinggal dalam agamanya, juga pendidikan, dan katanya belum ada listrik dan MCK.

Dalam hal ini Pak Carik bertindak sebagai PJ Kepala Desa, karena Kepala Desa sebelumnya telah berakhir masa jabatannya dan belum diadakan pemilihan Kepala Desa karena menunggu Pemilukada serentak yang akan diadakan bulan Desember.

Saat penerjunan ke lokasi kita kembali dikejutkan karena ternyata di rumah Pak Carik terdapat beberapa 
mahasiswa berjas biru muda yang ternyata adalah rekan-rekan dari Tim KKN UNS. Ternyata di sana kita tidak sendirian, ada anak-anak UNS yang menempati lokasi yang sama. Bedanya kita dari UGM dibagi dalam tiga subunit kecil yang nantinya dibagi di tiga dusun, sedangkan dari UNS hanya berjumlah 9 orang untuk wilayah kerja satu desa Nglebak.

Takdir-Nya memang luar biasa saya. Dipertemukan dengan orang-orang shalih dari UNS. Ada mas taufik yang ketua SKI FKIP, Fakultas terbesar di UNS dan mas Aziz pengurus pusat AAI UNS. Kebetulan saya dulu juga pernah aktif di Lembaga Dakwah tingkat fakultas, jadi langsung mudah akrab dengan mereka. Dan yang mengejutkan lagi ternyata koordinator mereka, Radikal, ini juga seorang warga Persaudaraan Setia Hati Terate pengesahan Pacitan.

 Saya yang yang berasal dari Blora bisa KKN di Blora, dengan tema yang sesuai dengan bidang saya di Teknik Fisika,dan kebetulan PLTS disini mendapat predikat sebagai PLTS percontohan Nasional. Sebagai siswa SH Terate waktu itu ternyata lokasi saya merupakan perkampungan yang sangat menerima organisasi ini, dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka karena beberapa kali saya lihat ada lambang organisasi ini di rumah-rumah, dan beberapa kali saya temukan warga yang memakai baju/atribut organisasi ini. Sebagai seorang yang pernah terlibat dalam dakwah kampus di sini saya bertemu dengan anak UNS yang ternyata pentolan dakwah kampusnya masing-masing, dan bertemu pula dengan warga SH Terate dari UNS. Kebetulan macam apa ini?

Saya pribadi menganggap ini bukanlah kebetulan, melainkan sudah menjadi kehendak-Nya agar saya banyak-banyak belajar disini. Saya pun memulai perjalanan KKN ini dengan ditemani Mas Nur, Azri, Ifah, Bestari, Laily dan mbak Begum yang tergabung dalam sub unit Plumbon dan rekan-rekan lain dalam satu unit Nglebak. Rencana awal untuk bertempat di Kudu kita batalkan karena ternyata belum ada MCK disana, warga di sana terbiasa membuang hajat di sungai Bengawan Solo. Sama sekali tidak ada MCK dan tidak ada mushola/tempat ibadah. Akhirnya kami memutuskan untuk tetap tinggal di rumah Pak Carik namun tetap menjalankan beberapa program di Kudu.

Kondisi masyarakat di Nglebak

Beberapa hari tinggal di tempat Pak Carik saya cukup kagum dengan masyarakat disini yang ternyata begitu islami. Semua sekolah disini bahkan sampai tingkat SD mewajibkan siswa putrinya mengenakan jilbab. Beberapa warga saya lihat kerap memakai peci, meski bukan di saat-saat ibadah. Ketika survei ke rumah-rumah pun berkali-kali saya menemukan rumah yang sedang menyetel lagu-lagu islami. Islami tapi Jawa, ada yang seperti lagu dangdut tapi yang dinyanyikan seperti sholawatan. Mungkin ini representasi riil dari Islam Nusantara yang akhir-akhir ini sering kita dengar. Sejuk sekali rasanya, di dinding-dinding sekolah juga terdapat pesan motivasi yang ternyata bila ditelisik lagi berasal dari Qur’an. Pak Kamituwo sendiri tidak pernah absen sholat berjamaah di masjid, dan selalu mengenakan pecinya kemana pun ia pergi.

Selidik punya selidik ternyata memang ada sejarahnya. Dulu tidak seperti ini, bahkan dulu seringkali ditemui adanya praktek pembuatan sesajen untuk menghormati tempat tertentu, juga sering ditanggap gambyongan ketika selesai panen raya. Saya awalnya tidak paham mengapa gambyongan dikonotasikan negatif, entah mungkin karena ada goyangan erotis yang ditampilkan dalam kesenian ini.

Perubahan dimulai semenjak kedatangan Pak Gandhi seorang tokoh guru agama di sana. Tokoh-tokoh yang pertama kali muncul menolak kebiasaan buruk ini adalah Pak Sujata, Kamituwa sekarang, Pak Gandhi serta beberapa tokoh lainnya. Sempat beliau (Pak Kamituwa) bercerita bagaimana dulu dirinya ketika muda, sangat getol menentang praktik gambyongan, karena sudah menghabiskan banyak dana, digunakan untuk hal yang negatif, kalau mau gambyongan ya silahkan yang mau saja yang menyumbang. Saat itu ketika akan mengadakan gambyongan semua warga desa dimintai sumbangan, baik yang senang maupun menolak seperti Pak Kamituwa ini.

Bahkan beliau sempat geger besar karena beberapa orang yang membencinya melaporkannya ke pihak Lurah. Seharusnya waktu itu menjadi permasalahan dusun, bukan di Kelurahan, tapi beliau bersama 5-7 orang teman-temannya dari kalangan masjid tetap tegar berdiri menolak kebiasaan lama yang dirasa banyak mudharatnya ini.

Setelah masuknya Pak Gandhi, masyarakat mulai perlahan-lahan belajar agama, dan akhirnya mau menerima cahaya Islam, bertaubat sepenuhnya dan berhenti dari praktik-praktik jahiliyah seperti sesaji dan gambyongan. Inilah mengapa di kalangan tua seringkali saya temukan orang-orang yang memakai peci. Mereka adalah orang-orang pertama yang kembali pada agama, sehingga memiliki jatidiri islami yang kuat.

Pendekatan yang dilakukan Pak Gandhi dan kawan-kawan bukan dengan kekerasan, namun secara perlahan-lahan dengan menghilangkan sedikit demi sedikit praktik adat yang menyalahi agama sehingga bisa diterima dengan baik oleh seluruh warga. Namun tetap saja, seperti kata Pak Kamituwo setiap yang menyuarakan kebaikan pasti memiliki musuh, bahkan para Nabi pun memiliki musuh. Dari kalangan "putihan" ini mendapatkan perlawanan dari beberapa orang terutama di Kudu, tempat yang awalnya menjadi tempat tujuan KKN sub unit kami.

Di Kudu dulu terdapat tokoh yang kental dengan praktik perdukunannya, dan juga karena kaya raya ia menjadi rujukan warga di sana. Karenanya lah sampai sekarang Kudu masih tertinggal dalam masalah agama. Namun kini tokoh tersebut telah meninggal dan perlahan-lahan mulai ada yang menerima agama, dan mendirikan sholat. Namun tetap saja tertinggal, sudah lama ingin didirikan masjid tapi tidak juga terlaksana. Sudah dipasrahi uang 9 juta untuk membangun masjid malah dipinjam-pinjam untuk kepentingan pribadi, untuk ngurug jalan katanya. Hingga hanya tersisa 6 juta.

Masalah dengan pihak Kecamatan

Pada saat penerjunan unit kami juga menemui permasalahan dengan pihak Kecamatan. Dimana yang seharusnya ada penyambutan di Kecamatan, ternyata tidak ada penyambutan. Besoknya kita mencoba menghubungi pihak Kecamatan dan menyampaikan permohonan maaf kami, namun kami hanya bisa bertemu dengan Sekretaris Camat. Yang paling kasihan adalah ketika mbak Begum yang mewakili tim UGM dalam lomba tujuh belasan di Kecamatan justru diacuhkan pihak Kecamatan, tidak seperti rekan-rekan UNS, kecuali Ibu Camat yang berani membuka pembicaraan. Dan ketika tahu beliau anak seorang pejabat di Kabupaten baru orang-orang menyapanya. Beginilah potret pemerintahan di Indonesia, ketika bertemu dengan seorang yang berjabatan lebih tinggi langsung tidak berani macam-macam.

Permasalahan PLTS di Nglebak
Meski sudah mendapat predikat PLTS Terbaik dari pemerintah, ternyata pada pelaksanaannya masih saja terdapat banyak permasalahan. Sebelumnya saya jelaskan bahwa di Nglebak ada PLTS yang dibangun di dusun Nglebak, dan ada Solar Home System yang dipasang di Kudu. Namun pada kenyataannya yang dipasang di Kudu kebanyakan sudah tidak beroperasi karena aki yang tidak berfungsi. Dan selama ini PLTS yang terpasang pun hanya cukup untuk menyalakan 1-2 lampu saja.

Seperti itu pula yang terdapat di dusun Nglebak. Pada kenyataannya listrik yang dihasilkan PLTS masih sangat kurang, hanya cukup untuk menyalakan dua lampu. Untuk memenuhi kebutuhan listrik, warga justru mengambil dari Bojonegoro dengan harga yang cukup mahal.

Saat pertama kali kami datang ke desa Nglebak, Pak Carik langsung menyampaikan bahwa yang dibutuhkan masyarakat di Nglebak saat ini adalah listrik PLN, bukan PLTS. Katanya berulang kali mereka mengajukan proposal untuk pembangunan jalur listrik PLN dari pemerintah tidak mendapat respon, dan ketika ada tawaran pembangunan PLTS dan mengajukan proposal ternyata langsung ditanggapi. Namun saat itu pemerintah juga berencana mengadakan penambahan PLTS di Nglebak dan di Kudu.

Selain permasalahan listrik, permasalahan utama yang dihadapi masyarakat adalah masalah pertanian. Disana mayoritas bertanam padi, jagung, dan menyok (ketela). Petani hanya mampu panen sekali karena sulitnya air, dan jarangnya intensitas hujan. Terkadang mereka justru merugi karena keuntungan bersih yang didapat justru lebih kecil dari biaya pupuk yang harus dikeluarkan selama proses tanam. Kebanyakan mereka memanfaatkan tanah corah, yakni tanah milik perhutani, yang bisa digunakan dengan bagi hasil 10% dari panen diserahkan ke pihak perhutani. Walhasil kebanyakan harus bekerja serabutan, menebang tebu pada pemilik lahan tebu, bekerja bangunan, atau pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Di daerah ini terdapat hutan jati yang masuk dalam KPH Ngawi. Yang menjadi ironi adalah masyarakat tidak merasakan hasil dari jati, selain bantuan tanah corah, sementara jalanan disekitarnya banyak yang masih rusak karena tidak dibangun, karena masuk dalam wilayah KPH Ngawi, bukan wewenang pemerintah untuk membangun jalan, begitu katanya. Karena berbagai keterbatasan itulah mayoritas pemudanya memilih untuk merantau, bekerja di luar, di restoran-restoran Madiun, atau ada yang ikut bekerja ke Kalimantan dan berhasil meniti karir di sana.

Meski dengan segala keterbatasannya, tempat ini bagi saya cukup menyajikan pemandangan yang indah, yakni pemandangan sungai Bengawan Solo yang begitu menawan. Selain itu suasana desa juga masih begitu tenang, jauh dari keramaian kota. Kita bisa berjalan pagi-pagi di tengah ladang jagung atau hutan jati yang sejuk dan jarang bisa dijumpai di lingkungan kampus. Dan yang membuat lebih tenang lagi karena disini, saya terbebas dari tanggungan tugas-tugas kuliah, maupun kegiatan organisasi di kampus yang terkadang juga menyita waktu.

 Gambar 2. Pemandangan Bengawan Solo di Kudu

Di sela-sela waktu KKN Riza membawa banyak buku bacaan. Satu yang membuat saya tertarik adalah Max Havelaar, karya dari Douwess Dekker dalam versi terjemahan. Sejak kecil di sekolah-sekolah tentu telah diajarkan bagaimana buku ini berperan penting merubah dunia, menjadi salah satu pemantik kebangkitan nasional. Tentu saya tertarik untuk membaca seperti apa isi dari buku yang fenomenal ini. Ketika membaca saya sempat frustasi karena ceritanya ternyata agak berbelit-belit dan membingungkan. Bagaimana mungkin buku seperti ini bisa mengubah dunia? Pikir saya.

Menurut saya kekuatan buku ini ada pada konteksnya yang berawal dari kenyataan yang terjadi lama di Hindia Belanda (Indonesia) pada masa penjajahan. Kondisi yang sedemikian, buruk dan korup namun tidak ada yang tergerak merubah keadaan. Rakyat kecil justru tertindas oleh kesewenang-wenangan rajanya, dengan memanfaatkan loyalitas mereka pada pemimpin yang dianggap sebagai kewajiban kaum sudra untuk bisa dikatakan beretika dan bertatakrama. Pembaca pun dibuat muak dua kali, pertama karena ceritanya yang berbelit, kedua karena muak dengan kebobrokan sistem yang ada di zaman tersebut. Satu pelajaran penting disini, terkadang suatu karya besar tidaklah harus memiliki nilai sastra yang tinggi, tidak harus dengan bahasa yang mendayu-dayu. Namun lebih ke emosi pembaca yang dimainkan, serta pesan moral yang hendak disampaikan.

Kembali ke KKN, dalam dua bulan ini ada satu program besar dari subunit saya yang saya rasa cukup berhasil yakni pembangunan MCK di Kudu. Beranjak dari masalah awal, awalnya kami hanya berniat membantu membuatkan proposal pengajuan MCK, yang nantinya akan diserahkan ke dinas kesehatan atau instansi yang bisa dimintai bantuan. Namun berkat ide dari teman-teman UNS, yang mana ketika itu LAZIS UNS bersedia memberikan bantuan untuk proposal semacam ini akhirnya kita memutuskan untuk benar-benar mewujudkan pembangunannya.

Uang yang terkumpul dari LAZIS UNS tentu tidaklah cukup, sehingga kami bergerilya memintakan bantuan dana pada rekan-rekan dan sanak-saudara. Tidak disangka-sangka ternyata dana terkumpul hingga 8 juta lebih. Hingga akhirnya kami dibantu Pak Carik mencarikan tukang dan memulai pekerjaan. Saya sama sekali tidak menyangka pekerjaan seperti ini akan berlangsung demikian cepat. Tidak sampai 2 minggu MCK yang diimpi-impikan pun telah berdiri dengan indahnya. Selebihnya dalam pembangunan MCK ini juga mendapatkan bantuan dari warga sekitar Kudu yang membantu menyumbang baik makan, semen, maupun tenaga.

Yang lebih membahagiakan lagi dari pihak pembangunan PLTS ternyata datang di akhir-akhir dan berencana membangun masjid yang sebelumnya baru dibangun seadanya menggunakan kasibot. Kami membantu memesankan material yang diperlukan. Selain pembangunan MCK, kami juga melaksanakan program lain seperti pembukaan perpustakaan, plangisasi, pengecatan pos kamling, pembagian obat cacing untuk ternak dan acara-acara seperti 17an, mengajar di SD, sosialisasi 3M, sosialisasi kompos, sosialiasasi pembuatan tepung mocav dan banyak program lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

 Meski terkadang sering main, unit kami tergolong rajin bila dibandingkan dengan yang lain. Seperti terkait pembuatan laporan pelaksanaan kegiatan, unit kami menyelesaikan laporan sebelum pulang ke kampus, dan sempat mengumpulkannya kepada pihak kelurahan, kecamatan, serta BAPPEDA sesuai arahan buku pedoman. Sementara unit lain banyak yang selesai KKN, sesampainya di kampus baru memulai membuat laporan. Mungkin memang unit kami saja yang sejak awal terlalu saklek  mengikuti arahan buku pedoman yang pada prakteknya tidak harus sekaku itu. Tapi sudahlah, dengan demikian kami tidak perlu repot-repot mikirin laporan di awal-awal masa perkuliahan.
Sekian cerita KKN nya, lain kali dilanjut lagi ya! :D
 Gambar 3. Mengajar TPA

 Gambar 4. Masjid di Kudu sebelum dibangun

 Gambar 5. Sosialisasi tepung mocav bersama warga

 Gambar 6. Penambang pasir di Bengawan Solo

 Gambar 7. Mengajar di SD Nglebak

 Gambar 8. Pengecatan Pos Kamling

Gambar 9. MCK di Kudu selesai pembangunan
 Gambar 10. Syukuran dan peresmian MCK Kudu
Gambar 11. Sub Unit Plumbon bersama Pak Carik