4/04/2014

Sarung ini Bukan Sekedar Penutup Aurat


Beberapa bulan yang lalu dalam grup facebook pemandu aai ada yang mengirim postingan “Pemandu aai wajib pakai baju koko ya!” Sejenak kemudian ada yang berkomentar, “Yang diperintahkan syariat itu memakai pakaian yang baik-baik, tidak ada perintah memakai baju koko”. Kemudian ada yang menambahkan argumen bila koko sesendiri sebenarnya dari budaya Cina jadi bukan identitas seorang muslim. Kemudian ada yang sedikit meledek “Sekalian saja diwajibkan pakai sarung sana!”

Sejenak perdebatan ini membuat saya berpikir lebih jauh. Memang pada kenyataannya islam lebih mementingkan substansi ketimbang penampakan luar. Yang pertama kali dibangun adalah hati sebelum jasad. Namun apakah benar islam sama sekali mengabaikan penampilan luar?
Dari pengamatan yang saya temukan tidak sepenuhnya benar bila dikatakan islam mengabaikan penampilan luar. Bagaimana dengan perintah mencukur kumis dan memelihara jenggot untuk menyelisihi orang-orang musyrik? Bukankah ini hanya penampilan luar?

Selisilah orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari no. 5892)

Bagaimana pula dengan kewajiban menutup aurat bagi setiap muslim maupun muslimah? Bukankah ini juga penampilan lahiriah? Bagaimana pula dengan kebiasaan ulama memakai pakaian tebal, gamis, atau sorban? Bukankah ini penampilan luar juga? Lalu mengapa mereka yang menjadi pewaris para Nabi begitu memerhatikan perkara ini?

Pada kenyataannya menjaga penampilan luar pun tak kalah pentingnya dari menjaga perkara-perkara substansial. Martin Jackues dalam bukunya “When China Rules the World” menyatakan salah satu yang menjadi identitas bagi suatu peradaban adalah “tubuh”. Tubuh yang dimaksud di sini adalah ciri-ciri fisik, seperti warna kulit dan gaya berpakaian. Tiap-tiap peradaban memiliki ciri-ciri fisik dan busana sendiri yang melambangkan kekhasannya masing-masing.

Pakaian dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting di masa China kuno. Itu adalah sebuah instrumen aura magis kekuasaan di mana kaisar mengendalikan dunia; selain itu, ia juga berfungsi untuk membedakan masyarakat beradab dengan yang bar-bar, membedakan pria dan wanita, yang tinggi dan yang rendah, yang benar dan yang tak benar-singkatnya, itu adalah instrumen dari tatanan dalam suatu masyarakat yang berpegang pada hierarki, harmoni, dan kewajaran

Bahkan tidak mengherankan bahwa Revolusi 1911, yang menggulingkan pemerintahan dinasti, sekaligus juga menjadi peristiwa revolusi busana. Tamatnya kekaisaran Qing menyebabkan berakhirnya tata pemerintahan yang lama. Tradisi mengikat kaki bagi wanita yang bertahan ribuan tahun lenyap, sebagaimana juga tradisi kuncir bagi laki-laki (rambut dikepang panjang seperti ekor kuda), yang diperkenalkan oleh bangsa Manchu.

Oleh karena itu disini saya memandang sarung bukan lagi sekedar sebagai penutup aurat, namun telah menjadi identitas muslim Indonesia, menjadi lambang langgengnya peradaban islam yang telah beratus-ratus tahun mengakar pada pribadi umat Islam Indonesia. Bahkan ketika zaman penjajahan dahulu ulama kita sempat mengharamkan memakai celana pantalon karena dianggap tasyabbuh (menyerupai) kaum kuffar Belanda. Ketika itu mudah sekali untuk membedakan seorang pribumi dan penjajah Belanda, yakni tinggal melihat cara berpakaiannya (pakai sarung/tidak).

Namun seiring berjalannya waktu, ghazwul fikri telah sedikit banyak merubah pendirian kita. Mendadak kita tergila-gila dengan pakaian-pakaian dari Barat dan dibuat malu untuk sekedar memakai sarung maupun identitas-identitas lokal lainnya. Kita dibuat lupa akan sejarah dan identitas kita sendiri, terombang ambing oleh arus westernisasi, hingga semua yang datang dari Barat dianggapnya sebagai hal modern, dan selainnya dianggap kolot dan ketinggalan zaman.

Kini semakin lama posisi sarung semakin tergantikan, terkadang hanya digunakan ketika akan sholat, bahkan saat sholat pun lebih banyak memakai celana pantalon ketimbang sarung. Sudah selayaknya sebagai seorang muslim Indonesia kita bangga mengenakan sarung, karena inilah lambang bertahannya peradaban islam Indonesia yang telah lama dibangun pendahulu-pendahulu kita. Inilah lambang kehormatan, lambang penolakan untuk takluk pada pengaruh Barat yang menandakan peradaban muslim Indonesia tetap utuh tidak pernah punah dan lenyap dari sejarah dunia. Berbanggalah menjadi sang pewaris peradaban! Wallohua’lam