2/17/2017

Untuk Mas Agus



          Lama sekali saya mencoba “ngempet” untuk tidak ikut berkomentar terkait isu PILKADA DKI yang sedemikian hebohnya sampai muncul aksi bela-bela berjilid-jilid. Saya tetap pada posisi saya, tidak ingin ikut-ikutan dengan kelompok yang menebar kebencian pada salah satu paslon pun juga tak ingin ikut-ikutan mencibir kelompok ini. Ya mau gimana lagi, begitu-begitu masih saudara saya, saudara seiman islam, pantang bagi saya untuk memperlebar konflik yang malah bisa berujung pada terpecah belahnya umat Islam itu sendiri.

          Namun kali ini setelah Pilkada putaran pertama berakhir dengan kekalahan Agus Harimurti Yudhoyono, saya malah sedemikian tertarik untuk berkomentar. Melihat Mas Agus ini saya seperti melihat diri saya sendiri dua tahun yang lalu saat dengan pedenya mendaftarkan diri mengikuti Kejurnas (Kejuaraan Nasional) Pencak Silat antar perguruan tinggi yang kebetulan diselenggarakan di kampus sendiri, Universitas Gadjah Mada.

         Padahal waktu itu saya masih siswa sabuk polos, siswa dengan tingkatan sabuk terendah dalam hierarki tingkatan siswa dalam perguruan saya, PSHT. Entah apa yang ada dalam benak saya waktu itu, padahal Kejurnas ini termasuk event bergengsi yang biasanya diikuti para atlit yang telah menuai banyak prestasi sedari kecil/remaja dulu, sementara saya sama sekali belum ada pengalaman pertanding, itulah pertandingan pertama saya. Saya hanya teringat dengan pelatih saya di Blora dulu, “Suk yen ana turnamen melua, menang kalah gak dadi masalah, penting nyoba disik”. Kurang lebih seperti itu pesan pelatih saya dulu. 

       Walhasil, dibanting-bantinglah saya, sampai pelatih langsung lempar anduk (isyarat menyerah) pada ronde pertama, baru beberapa detik berjalan pertandingan. Rasa malu, sedih, kecewa bercampur baur menjadi satu. Padahal sebelumnya dalam sesi latihan saya selalu jadi yang paling rajin, dibanding teman-teman lainnya, saya tidak tahu apa yang salah dengan diri saya.

       Namun apakah saya kemudian menyerah dan berhenti latihan? Tidak sama sekali! Justru berawal dari sanalah saya “sadar diri” pada kemampuan saya yang masih belum ada apa-apanya. Sejak saat itu saya semakin semangat latihan, dan saya latihan tiada lelah untuk bisa menjadi lebih baik lagi, sampai kini meski sudah jadi pelatih/warga di perguruan, tetap saja saya masih terus berlatih, karena merasa belum bisa membayarkan kekalahan saya dulu di arena. 

       Seperti itu pula yang saya lihat pada Mas Agus kali ini. Sejak semula bagi orang yang awam sekalipun pastinya sudah bisa menduga kekalahan Mas Agus. Terlebih setelah melihat jalannya debat antar Paslon. Mau bagaimana lagi, mengharapkan kemenangan seorang pemula melawan macan-macan tangguh seperti Pak Ahok dan Pak Anies ini sama saja mengharapkan kemenangan saya dulu dalam Kejurnas Perti UGM. Hampir mustahil, dan sangat kecil sekali kemungkinan menangnya. Padahal pengorbanannya juga luar biasa, sampai harus menanggalkan karirnya di dunia militer, menghapus cita-cita Jendral dari benaknya hanya demi berhadapan dan dikalahkan macan-macan tangguh DKI.

       Namun seperti saya dulu, apakah dengan kekalahan ini Mas Agus akan berhenti sampai di sini, menyerah, beralih jualan bubur seperti Mas Norman? (maaf, tolong jangan dijadikan bahan ledekan, jual bubur itu juga terhormat asalkan halal, mending jual bubur daripada jual negara!!)
Saya tidak yakin. Saya yakin yang dirasakan Mas Agus saat ini hampir sama dengan yang saya rasakan dahulu. Bila Mas Agus ini seorang challenger sejati, tentu saja tidak akan berhenti disini, Mas Agus akan segera bangkit, mengambil pelajaran dari lawan-lawannya, dan terus belajar menjadi seorang pemimpin yang besar di masa depan nanti.

      Mengenai Pak SBY, saya sendiri ragu bila dikatakan Pak SBY tidak bisa memprediksikan kekalahan anaknya. Lalu mengapa sampai mengorbankan karir anaknya bila tahu bakal kalah? Dari sini lah muncul opini bila barangkali memang bukan untuk DKI AHY disiapkan. DKI hanya dijadikan ajang untuk uji tanding pertamanya, supaya mas Agus belajar banyak dari kekalahannya. Iya belajar dari kekalahan!! 

       Ide ini mengerikan sekali menurut saya yang berkali-kali merasakan pahitnya kekalahan. Kekalahan bisa membuat orang mundur, dan menyerah, namun bagi sebagian orang lain justru mampu menjadi pemacu yang hebat untuk belajar. Bila mungkin Mas Agus sebelumnya masih setengah hati, berjuang hanya untuk menuruti keinginan orangtuanya, maka bisa jadi setelah kekalahan ini, tertanamlah dengan semakin mantap cita-cita untuk menjadi pemimpin bangsa. Karena mau bagaimana lagi? Kembali ke dunia militer dan bercita-cita menjadi Jendral juga sudah tidak mungkin. Berhenti, dan jadi pengusaha seperti Norman Kamaru juga rasa-rasanya terlalu receh untuk seorang anak mantan Presiden. 

       Mas Agus sudah terlanjur basah, mending nyebur sekalian!! (kata pelatih saya dulu). Mas Agus sudah terlanjur maju di arena pertandingan, sudah kadung jadi sorotan massa, mau mundur, berhenti bermimpi jadi pemimpin besar? Bisa-bisa saja sih, tapi rasa-rasanya itu bukan jiwanya seorang ksatria semacam Mas Agus ini.  

      Bila Mas Agus akhirnya berhenti dan memilih menjalani kehidupan biasa, hidup bahagia bersama istri dan anak-anaknya maka itu mulia sekali, tetapi akan jadi sangat-sangat tidak menarik jalan ceritanya. 

       Sebaliknya, bila Mas Agus ternyata justru tertantang untuk belajar lebih banyak, dan tak kenal lelah belajar untuk menjadi pemimpin yang besar di masa depan, maka saya merinding membayangkan akan menjadi pemimpin sebesar apa Mas Agus ini, bila sedari muda sudah digembleng sedemikian keras menantang “macan-macan tangguh” di Pilgub DKI yang notabenenya, menjadi sorotan karena bisa menjadi batu loncatan sebelum berebut kursi RI 1. 

 Jadi apa yang akan dilakukan Mas Agus setelah ini? Berikut kami lampirkan dari pidato terakhirnya.
“Secara pribadi, ke depan nanti saya akan tetap mendarma baktikan hidup saya untuk ikut memajukan bangsa dan negara tercinta ini menuju Indonesia Emas 2045.”

Tentu yang lebih menarik adalah Mas Agus bisa menjadi role model  bagi pemuda lainnya untuk berani unjuk gigi, tidak takut gagal, dan kalah dalam mengejar cita-citanya.
“Saya juga secara khusus tentunya mengajak generasi muda untuk terus berbuat yang terbaik, jangan pernah takut gagal, jangan pernah takut kalah. Berbuatlah yang terbaik, karena banyak sekali yang bisa dilakukan oleh generasi muda!!”

          Akhirnya, ini hanya opini saya pribadi, berdasarkan kata hati, dan pengalaman pribadi, bukan dari kajian yang njelimet dan ilmiah. Jadi jangan cepat percaya, dan tidak usah dipikir terlalu serius juga :D