Entah sudah berapa lama saya tidak merasakan jatuh cinta, tidak tertarik membicarakan wanita
Di saat yg lain hampir tiap hari membincangkan si A, membincangkan si B di lain hari, entah kenapa saya sendiri merasa terlalu tabu untuk ikut-ikutan dan merasa belum saatnya, bahkan untuk mendoa minta segera dipertemukan jodoh saja saya merasa belum perlu
Sebagai manusia biasa tentu saja saya pernah jatuh cinta, setiap hari terngiang2 si dia, sampai dibawa doa untuk dijadikan jodohnya. Namun lucunya setelah lama tak berjumpa tiba2 saja perasaan itu hilang entah kemana, apalagi kalau ketemu wanita lain yg dekat dn sering berinteraksi dengan saya.
Saya pun mengamini kebenaran pepatah Jawa "Witing Tresna jalaran saka kulina"
Dan saya sering menambahi sendiri "Yen wis ra kulina tresnane bakalan sirna" untuk menjelaskan hilangnya rasa cinta saya berkali2 :)
Lebih lagi sebagai anak teknik saya selalu belajar bersikap skeptis dan tidak mempercayai perasaan saya. Mungkin sejak saat itulah saya selalu ragu pada perasaan saya, bahkan sering berusaha mengelak dan menghindari jatuh cinta.
Saya terlalu takut bila rasa cinta saya membutakan saya, mungkin takut juga bila tak berbalas.
Meski saya suka sekali dengan tokoh bidam dalam drama Queen Seon Deok karena keahliannya dalam beladiri dan kepandaiannya berstrategi.
Saya cukup geli dengan bidam yang mencoba menggenggam negara demi mendapatkan hati wanita yg dicintainya, Deokman.
Betapa cita2 yg kekanak2an sekali! kata Mishil. Di saat Mishil menaklukkan hati manusia untuk meraih kuasa, anaknya yg satu ini malah sebaliknya, mengejar negara untuk meluluhkan hati wanita yang dicintainya.
Mungkin memang bagi sebagian orang sangatlah romantis cinta bidam ini, ya namanya jg drama Korea, pada akhirnya tetap saja yg dieksploitasi kisah cinta anak manusia
Maka aku pun terus bertanya lalu cita2 apa yang seharusnya diimpikan anak manusia? Cinta seorang wanita seperti Bidam? Kekuasaan tertinggi seperti Mishil? Cinta pada negara dan rakyatnya seperti Deokman? Atau apa?
Cita2 apa yg paling tinggi dn paling layak untuk diperjuangkan seorang anak manusia? Dan aku pun terus berjalan mencari2 jawaban dari pertanyaan penting ini.
Sebagai seorang muslim tentu saja saya sadar tujuan hidup manusia seharusnya adalah beribadah padaNya dan menjadi Khalifah di muka bumi ini
Maka jadilah kedekatan padaNya menjadi tujuan akhir yg semestinya
Namun tentu saja tidak serta merta dunia ini kita tinggalkan, kedekatan itu harus mewujud dalam ketulusan membangun peradaban dunia dan memancarkan cinta kasih pada setiap makhlukNya (tinggi amat ya bahasanya, hehe)
Maka dari sinilah saya jadi tidak tertarik memperbincangkan wanita. Seringkali saya tiba2 suka dengan si A, namun ketika dapat kabar sudah dipinang orang atau sekedar disukai teman saya, seketika hilang rasa suka saya. Dan ini berkali2, jadi seperti kisah Nabi Ibrahim a.s. dengan pencarian Tuhannya.
Ketika bertemu si A, aku berkata "inilah jodohku!" Ketika kemudian menjadi milik orang lain langsung aku beralih "tentu bukan yg ini". Begitu seterusnya sampai aku berkesimpulan "jodohku adalah yang sudah ditetapkan dalam Lauhul Mahfudz untukku seorang"(hehe)
Tentu saja sikap saya ini seringkali jadi buah simalakama. Mana ada permata yang tak dicari? Sebaik2 perhiasan adalah wanita shalihah, katanya.
Siapa yang tidak mau perhiasan? Tentu saja bila ada wanita yang cantik, cerdas lagi shalihah pasti sudah cepet2 dibribik sama laki2 yg tiap hari kerjanya membincangkan wanita tadi. Atau minimal sudah di" cim", diincer untuk jadi pasangannya.
Lha terus nasibku bagaimana kalau terus saja didului mereka yg memang kerjanya tiap hari membincangkan wanita? Disinilah terkadang saya merasakan dilema. Pengen hidup tentram dengan tidak terlalu memikirkan wanita tapi kemudian takut kehabisan jatah wanita cantik jelita, cemerlang nan shalihah, diduluin mereka yg ubyeke tiap hari ngobrolin wanita. Hehe
Tentu benar memang, mana ada permata yang tak dicari? Mana ada permata yang tak diperebutkan di dunia ini? Maka seperti rezeki yang harus dijemput dan diusakan tentu saja suatu saat saya pasti akan mengerahkan segala daya dan upaya untuk menemukan jodoh saya.
Tapi tidak sekarang, bukan sekarang waktunya. Saya masih ingin belajar, mencari ilmu sebanyaknya, mencari jati diri, mengungkap teka-teki kehidupan (halah). Dan tentu saja kemudian berkarir sampai cukup mapan.
Mengapa harus takut kehabisan jatah wanita cemerlang kalau memang sejak awal takdir saya sudah dituliskan?
Dan bila memang sudah ditakdirkan bukankah sebagai hamba sudah selayaknya saya menerima segala karunia, termasuk menerima segala kekurangannya?
Akan tiba masanya nanti untuk mencari penghidupan dan pasangan hidup. Sekarang dipuas2kan dulu mencari ilmu kehidupan. Hehe
"Sembunyi-sembunyilah engkau ke hingga ujung dunia pasti akan tetap kutemukan!
Bukan wanita yang sempurna yang aku cari, melainkan yang mau menerima segala kekurangan, yg mau diajak berpayah2 mewujudkan mimpi, yg mau menguatkan dikala terjatuh, menghibur dikala susah, dan tentunya yang mau diajak beribadah, semakin mendekat kepadaNya.
Selamat Idul Fitri 1438 H
Mohon maaf lahir dan batin untuk pembaca sekalian.
6/27/2017
2/17/2017
Untuk Mas Agus
Lama sekali saya mencoba “ngempet” untuk tidak ikut
berkomentar terkait isu PILKADA DKI yang sedemikian hebohnya sampai muncul aksi
bela-bela berjilid-jilid. Saya tetap pada posisi saya, tidak ingin ikut-ikutan
dengan kelompok yang menebar kebencian pada salah satu paslon pun juga tak
ingin ikut-ikutan mencibir kelompok ini. Ya mau gimana lagi, begitu-begitu
masih saudara saya, saudara seiman islam, pantang bagi saya untuk memperlebar
konflik yang malah bisa berujung pada terpecah belahnya umat Islam itu sendiri.
Namun kali ini setelah Pilkada putaran pertama berakhir
dengan kekalahan Agus Harimurti Yudhoyono, saya malah sedemikian tertarik untuk
berkomentar. Melihat Mas Agus ini saya seperti melihat diri saya sendiri dua
tahun yang lalu saat dengan pedenya mendaftarkan diri mengikuti Kejurnas (Kejuaraan
Nasional) Pencak Silat antar perguruan tinggi yang kebetulan diselenggarakan di
kampus sendiri, Universitas Gadjah Mada.
Padahal waktu itu saya masih siswa sabuk polos, siswa dengan
tingkatan sabuk terendah dalam hierarki tingkatan siswa dalam perguruan saya,
PSHT. Entah apa yang ada dalam benak saya waktu itu, padahal Kejurnas ini
termasuk event bergengsi yang biasanya diikuti para atlit yang telah menuai
banyak prestasi sedari kecil/remaja dulu, sementara saya sama sekali belum ada
pengalaman pertanding, itulah pertandingan pertama saya. Saya hanya teringat
dengan pelatih saya di Blora dulu, “Suk yen ana turnamen melua, menang kalah
gak dadi masalah, penting nyoba disik”. Kurang lebih seperti itu pesan pelatih
saya dulu.
Walhasil, dibanting-bantinglah saya, sampai pelatih langsung
lempar anduk (isyarat menyerah) pada ronde pertama, baru beberapa detik
berjalan pertandingan. Rasa malu, sedih, kecewa bercampur baur menjadi satu.
Padahal sebelumnya dalam sesi latihan saya selalu jadi yang paling rajin, dibanding
teman-teman lainnya, saya tidak tahu apa yang salah dengan diri saya.
Namun apakah saya kemudian menyerah dan berhenti latihan?
Tidak sama sekali! Justru berawal dari sanalah saya “sadar diri” pada kemampuan
saya yang masih belum ada apa-apanya. Sejak saat itu saya semakin semangat
latihan, dan saya latihan tiada lelah untuk bisa menjadi lebih baik lagi, sampai
kini meski sudah jadi pelatih/warga di perguruan, tetap saja saya masih terus
berlatih, karena merasa belum bisa membayarkan kekalahan saya dulu di arena.
Seperti itu pula yang saya lihat pada Mas Agus kali ini. Sejak
semula bagi orang yang awam sekalipun pastinya sudah bisa menduga kekalahan Mas
Agus. Terlebih setelah melihat jalannya debat antar Paslon. Mau bagaimana lagi,
mengharapkan kemenangan seorang pemula melawan macan-macan tangguh seperti Pak
Ahok dan Pak Anies ini sama saja mengharapkan kemenangan saya dulu dalam
Kejurnas Perti UGM. Hampir mustahil, dan sangat kecil sekali kemungkinan
menangnya. Padahal pengorbanannya juga luar biasa, sampai harus menanggalkan
karirnya di dunia militer, menghapus cita-cita Jendral dari benaknya hanya demi
berhadapan dan dikalahkan macan-macan tangguh DKI.
Namun seperti saya dulu, apakah dengan kekalahan ini Mas
Agus akan berhenti sampai di sini, menyerah, beralih jualan bubur seperti Mas
Norman? (maaf, tolong jangan dijadikan bahan ledekan, jual bubur itu juga
terhormat asalkan halal, mending jual bubur daripada jual negara!!)
Saya tidak yakin. Saya yakin yang dirasakan Mas Agus saat
ini hampir sama dengan yang saya rasakan dahulu. Bila Mas Agus ini seorang challenger sejati, tentu saja tidak akan
berhenti disini, Mas Agus akan segera bangkit, mengambil pelajaran dari
lawan-lawannya, dan terus belajar menjadi seorang pemimpin yang besar di masa
depan nanti.
Mengenai Pak SBY, saya sendiri ragu bila dikatakan Pak SBY
tidak bisa memprediksikan kekalahan anaknya. Lalu mengapa sampai mengorbankan
karir anaknya bila tahu bakal kalah? Dari sini lah muncul opini bila barangkali
memang bukan untuk DKI AHY disiapkan. DKI hanya dijadikan ajang untuk uji
tanding pertamanya, supaya mas Agus belajar banyak dari kekalahannya. Iya
belajar dari kekalahan!!
Ide ini mengerikan sekali menurut saya yang berkali-kali
merasakan pahitnya kekalahan. Kekalahan bisa membuat orang mundur, dan
menyerah, namun bagi sebagian orang lain justru mampu menjadi pemacu yang hebat
untuk belajar. Bila mungkin Mas Agus sebelumnya masih setengah hati, berjuang
hanya untuk menuruti keinginan orangtuanya, maka bisa jadi setelah kekalahan
ini, tertanamlah dengan semakin mantap cita-cita untuk menjadi pemimpin bangsa.
Karena mau bagaimana lagi? Kembali ke dunia militer dan bercita-cita menjadi
Jendral juga sudah tidak mungkin. Berhenti, dan jadi pengusaha seperti Norman
Kamaru juga rasa-rasanya terlalu receh untuk seorang anak mantan Presiden.
Mas Agus sudah terlanjur basah, mending nyebur sekalian!!
(kata pelatih saya dulu). Mas Agus sudah terlanjur maju di arena pertandingan,
sudah kadung jadi sorotan massa, mau mundur, berhenti bermimpi jadi pemimpin
besar? Bisa-bisa saja sih, tapi rasa-rasanya itu bukan jiwanya seorang ksatria
semacam Mas Agus ini.
Bila Mas Agus akhirnya berhenti dan memilih menjalani
kehidupan biasa, hidup bahagia bersama istri dan anak-anaknya maka itu mulia
sekali, tetapi akan jadi sangat-sangat tidak menarik jalan ceritanya.
Sebaliknya, bila Mas Agus ternyata justru tertantang untuk
belajar lebih banyak, dan tak kenal lelah belajar untuk menjadi pemimpin yang
besar di masa depan, maka saya merinding membayangkan akan menjadi pemimpin
sebesar apa Mas Agus ini, bila sedari muda sudah digembleng sedemikian keras menantang
“macan-macan tangguh” di Pilgub DKI yang notabenenya, menjadi sorotan karena
bisa menjadi batu loncatan sebelum berebut kursi RI 1.
Jadi apa yang akan
dilakukan Mas Agus setelah ini? Berikut kami lampirkan dari pidato terakhirnya.
“Secara pribadi, ke depan nanti saya akan tetap mendarma
baktikan hidup saya untuk ikut memajukan bangsa dan negara tercinta ini menuju
Indonesia Emas 2045.”
Tentu yang lebih menarik adalah Mas Agus bisa menjadi role model bagi pemuda lainnya untuk berani unjuk gigi,
tidak takut gagal, dan kalah dalam mengejar cita-citanya.
“Saya juga secara khusus tentunya mengajak generasi muda
untuk terus berbuat yang terbaik, jangan pernah takut gagal, jangan pernah
takut kalah. Berbuatlah yang terbaik, karena banyak sekali yang bisa dilakukan
oleh generasi muda!!”
Akhirnya, ini hanya opini saya pribadi, berdasarkan kata
hati, dan pengalaman pribadi, bukan dari kajian yang njelimet dan ilmiah. Jadi
jangan cepat percaya, dan tidak usah dipikir terlalu serius juga :D
Subscribe to:
Posts (Atom)