11/01/2013

Indonesia Tanpa Korupsi


Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Bahkan di sila pertama pun dengan tegas dikatakan kita negara berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun entah mengapa pada kenyataannya masih banyak kita temui perilaku yang sangat jauh dari tuntunan agama baik dari lingkungan masyarakatnya hingga setingkat negara. Salah satunya adalah budaya korupsi yang semakin menjamur di negeri yang subur ini. Dari tingkat desa hingga tingkat negara, dari anak muda hingga yang sudah tua, seakan-akan sudah menjadi budaya, banyak sekali yang mudah terjerat kasus korupsi.

Bila kita lihat, di era Orde Baru mungkin kita mulai melihat adanya kasus KKN yang dilakukan para petinggi negara. Ini membuat kita geram hingga berusaha sekuat tenaga untuk menumbangkannya, disamping karena kedzaliman lain yang dilakukan rezim ini. Namun setelah Orde baru tumbang, bukannya terselesaikan masalah KKN justru makin menjadi-jadi. Bukan hanya petinggi negara di tingkat pusat, Gubernur, Bupati, Walikota, bahkan sampai tingkat terendah seperti desa pun bisa terjadi korupsi. Otonomi daerah yang terlaksana ternyata bukan hanya membagi kekuasaan bahkan turut menyebarkan kasus korupsi hingga ke daerah-daerah.

Kita tentunya terpukul dengan mencuatnya kasus korupsi Ketua MK kemarin. Betapa tidak, bahkan sampai lembaga yang dikatakan dan seharusnya berada di tingkat atas dalam memperjuangkan keadilan di negeri ini malah ikut-ikutan terlibat korupsi. Bila setingkat MK saja sudah terjebak Korupsi lalu siapa lagi yang bisa diharapkan untuk mencegah dan melawan korupsi? Mungkin hanya KPK satu-satunya lembaga yang masih bisa kita andalakan. Kita tidak tahu apa yang terjadi bila sampai KPK juga terjangkit kasus korupsi. Kasus ini setidaknya akan semakin menambah rasa pesimis dari rakyat untuk mengharapkan terwujudnya “Indonesia Tanpa Korupsi”, Indonesia yang bersih dari praktek-prakter korupsi yang merugikan negara.

Rakyat akan semakin kehilangan kepercayaannya pada institusi negara. Dan yang paling kita takutkan adalah ketika harapan untuk mewujudkan “Indonesia Tanpa Korupsi” itu benar-benar pupus. Karena bila telah pupus, maka sudah tidak mungkin lagi ada perlawanan terhadap korupsi. Kita tidak tahu bagaimana nasibnya negeri ini bila korupsi sudah tidak ada lagi yang melawan. Ini sama artinya kita menyerah pada para koruptor, dan akan terus membiarkan budaya korupsi semakin menyebar karena tak ada perlawanan untuk mencegahnya.
Padahal sudah jelas, korupsi ini merugikan banyak pihak. Betapa banyak kekayaan negara yang hilang begitu saja karena korupsi bahkan bukan hanya itu, budaya-budaya sejenis seperti praktek suap, kolusi, dan nepotisme selain mengurangi kas negara juga membawa negara ini pada kebijakan kebijakan yang merugian. Betapa banyak aset negara yan jatuh ke tangan asing karena perjanjian- perjnjian yang jelas-jelas merugikan negara. Ketika seorang pejabat mau menerima suap maka akan dengan mudahnya ia bisa “menjual” bangsanya sendiri pada pihak-pihak tidak bertanggungjawab, asal perut sendiri ‘kenyang’ dan nafsunya akan harta yang melimpah bisa terpenuhi.

Inilah yang tidak pernah kita harapkan, karena bila pejabat sendiri telah berani menjual bangasanya maka siapa lagi yang diharapkan mampu untuk memajukan bangsa ini? Bila para wakil rakyat sudah tidak peduli lagi pada urusan negeri dan lebih mementingkan perut sendiri maka siapa yang bisa kita harapkan untuk menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan?

Mungkin memang benar bila para petinggi negeri sudah tidak peduli lagi pada urusan negeri dan lebih senang memperkaya diri sendiri dengan memanfaatkan fasilitas yang diberikan negara maka satu-satunya yang masih bisa kita harapkan adalah para pemudanya. Pemuda yang tetap teguh memelihara idealismenya. Pemuda yang punya cita-cita tinggi untuk menyelamatkan negeri ini dari keterpurukannya. Karena memang puncak-puncaknya seseorang bisa teguh memegang idealisme kebanyakan adalah di masa mudanya. Di masa muda inilah kita belum terpengaruh dengan banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Tidak sedikit kasus korupsi yang berawal dari tuntutan istrinya sendiri yang menginginkan harta berlebih. Di masa muda kita belum menempati posisi yang beresiko sehingga tidak mungkin bisa terjebak dalam lubang korupsi. Tentu harusnya di masa inilah kita benar-benar terhindar dari maslaah korupsi dan benar-benar memberi perlawanan bagi perkembangan budaya yang satu ini.

Namun pada kenyataannya kita tidak bisa bila hanya mengandalkan pemudanya. Pada kenyataannya praktek korupsi ini telah berawal dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang kita lakukan sejak mudanya. Banyak sekali kita temukan pemuda yang mengaku benci dengan korupsi dan koruptor namun ternyata dirinya sendiri masih menyontek saat ujian. Banyak kita temui mahasiswa yang masih senang TA (Titip Absen) ketika tidak datang kuliah. Banyak sekali kebiasaan-kebiasaan kecil lain yang bisa digolongkan dalam tindakan korupsi hanya saja lingkupnya yang lebih kecil dan tidak selalu berwujud uang.

Orang yang menyontek misalnya, dia sama saja mencari nilai dengan cara yang tidak sesuai, “korupsi nilai” mungkin bisa kita katakan demikian. Mungkin sebagian kita akan mengatakan saat ini menyontek tapi tidak tidak akan korupsi nantinya. Tentu ita akan menguji logika berpikir yang satu ini. Karena pada dasarnya bila demi nilai rapor/IP/ijazah saja kita berani berbuat curang  maka apa jadinya bila suatu saat nanti kita mendapat jabatan yang membuka kesempatan untuk korupsi?

Padahal kebanyakan nilai Rapor/IP/ijazah itu sendiri kita gunakan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, hingga kita gunakan untuk melamar pekerjaan yang ujung-ujungnya pun untuk nyari “uang”.  Sedangkan kita tahu pada kenyataannya nilai IP/ijazah itu sendiri belum tentu bisa menjamin kita mendapat pekerjaan, tingginya IP belm tentu berbanding lurus dengan besarnya gaji. Kalau untuk yang demikian saja kita sudah begitu rakusnya sampai berani berbuat curang apa jadinya bila kesempatan meraih harta itu terbuka lebar dan kita punya akses untuk mendapatkan uang lebih banyak dengan cara yang lebih mudah? Yakin bisa tahan terhadap godaan korupsi?

Memang pada akhirnya budaya materialisme inilah yang menjadi akar merebaknya kasus korupsi. Kesuksesan hanya diukur dari banyaknya harta. Walasil apa pun dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, tidak peduli lagi dari jalur mana kekayaan itu didapat. Yang penting dipandang sukses, banyak harta, punya mobil, punya rumah mewah, seakan-akan ukuran keberhasilan hanya ada pada banyaknya perbendaharaan dunia yang dimilikinya.

Padahal bangsa ini tidak tegak kecuali dengan perantaraan perjuangan dan pengorbanan pahlawan-pahlawan kita. Seseorang kita katakan sebagai pahlawan bukan dari banyaknya harta dan perbendaharaan dunia yang dimilikinya namun justru dari sebesar apa pengorbanan yang telah diberikannya. Mereka mengorbankan harta, waktu, tenaga hingga nyawanya demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Bukan mengharapkan imbalan, bukan pula mengharapkan  pujian, mengabdi semata-mata demi keselamatan dan kehormatan bangsanya.

Sebesar apa pun masalah korupsi di negeri ini, satu langkah awal yang tidak boleh kita tinggalkan adalah terus berharap. Jangan sampai besarnya masalah membuat kita putus asa, dan menyerah, merasa tidak mungkin lagi mewujudkan Indonesia yang bersih dari praktek korupsi. Mulai dari impian, mulai dari cita-cita karena bila untuk bermimpi saja kita tak berani bagaimana hendak mewujudkannya? Bila berharap saja tak pernah bagaimana hendak berubah?

Dengan cita-cita yang tinggi itulah kita mampu terus berjuang melawan korupsi di negeri sendiri. Bahkan tidak cukup bermimpi,  perlawanan melawan korupsi ini tentunya membutuhkan  kesungguhan dan ketegasan sikap pemerintah. Pemberian hukuman yang ringan tentunya hanya tidak akan memberi efek jera bagi para pelakunya. Kita bisa mengambil contoh negara-negara seperti China, yang berhasil menuntaskan masalah korupsi dengan ketegasannya.

Menyebarluasnya korupsi bukan berarti kita akan memaklumkan kebiasaan ini. Kita tetap mengharapkan adanya perubahan, kita terus berharap budaya ini bisa benar—benar hilang dari negeri tercinta. Bila negara-negara lain berhasil mengatasi korupsi, mengapa kita tak bisa? Banyak sekali kas negara yang bisa diselamatkan bila tidak ada korupsi. Betapa banyak dana yang bisa disalurkan untuk kepentingan rakyat bila tak ada korupsi. Betapa banyak kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan bila tidak “dijual” pihak-pihak tak bertanggungjawab.

Bila benar-benar ingin masalah korupsi terhapuskan dari negeri ini maka sudah sepantasnya kita bersungguh-
sungguh dalam memberikan perlawanan. Yang kita hadapai bukan satu-dua orang, namun satu sistem raksasa yang melibatkan banyak orang di dalamnya. Tentu akan banyak rintangannya, akan sangat banyak yang memusuhi kita, mengatasi satu orang saja mungkin kita kewalahan apalagi hendak mengubah seisi negeri. Kita harus benar-benar sungguh-sungguh dan mengupayakan segenap tenaga untuk mengalahkan ‘musuh’ yang satu ini.

Tidak mungkin perlawanan in kita lalukan sendiri. Bila benar-benar serius ingin mewujudkan “Indonesia Tanpa Korupsi” maka kita harus bekerjasama dengan semua elemen masyarakat maupun pemerintah untuk menolak dan memerangi korupsi. Tidak cukup mengandalkan pemerintah, tidak cukup mengandalkan KPK tidak cukup mengandalkan Polri, TNI, MK namun infra struktur negara, lembaga-lembaga masyarakat di setiap lini pun perlu dikerahkan bersama untuk menghentikan budaya yang satu ini. Seluruh elemen masyarakat, dari rakyat sipil, mahasiswa, guru, swasta, aktifis LSM perlu bersama-sama menolak dan memerangi budaya korupsi ini.

Namun yang paling penting adalah bagaimana untuk terus memberikan perlawanan mulai dari lingkungan terkecil, dengan mengubah kebiasaan yang sehari-hari kita lakukan. Kejujuran dalam berbagai tindakan harus selalu diutamakan. Sebagai pelajar harusnya benar-benar menghindari kebiasaan menyontek dalam ujian. Seorang pedagang harus jujur dan tidak menipu pelanggannya. Apa pun posisinya melawan budaya korupsi sama artinya melawan segala bentuk kedustaan dan tindak kecurangan.  Ketika semua daya dan upaya sudah dirasa tak ada faedahnya maka satu-satunya yang masih bisa kita lakukan adalah terus berharap dan memanjatkan do’a-do’a. Karena bisa jadi merajalelanya kasus korupsi adalah salah satu adzab dariNya atas kesalahan-kesalahan kita yang tidak pernah kita sadari. Semoga Allah selamatkan bangsa ini dari bahaya korupsi. Aamiin.