11/01/2013

Indonesia Tanpa Korupsi


Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Bahkan di sila pertama pun dengan tegas dikatakan kita negara berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun entah mengapa pada kenyataannya masih banyak kita temui perilaku yang sangat jauh dari tuntunan agama baik dari lingkungan masyarakatnya hingga setingkat negara. Salah satunya adalah budaya korupsi yang semakin menjamur di negeri yang subur ini. Dari tingkat desa hingga tingkat negara, dari anak muda hingga yang sudah tua, seakan-akan sudah menjadi budaya, banyak sekali yang mudah terjerat kasus korupsi.

Bila kita lihat, di era Orde Baru mungkin kita mulai melihat adanya kasus KKN yang dilakukan para petinggi negara. Ini membuat kita geram hingga berusaha sekuat tenaga untuk menumbangkannya, disamping karena kedzaliman lain yang dilakukan rezim ini. Namun setelah Orde baru tumbang, bukannya terselesaikan masalah KKN justru makin menjadi-jadi. Bukan hanya petinggi negara di tingkat pusat, Gubernur, Bupati, Walikota, bahkan sampai tingkat terendah seperti desa pun bisa terjadi korupsi. Otonomi daerah yang terlaksana ternyata bukan hanya membagi kekuasaan bahkan turut menyebarkan kasus korupsi hingga ke daerah-daerah.

Kita tentunya terpukul dengan mencuatnya kasus korupsi Ketua MK kemarin. Betapa tidak, bahkan sampai lembaga yang dikatakan dan seharusnya berada di tingkat atas dalam memperjuangkan keadilan di negeri ini malah ikut-ikutan terlibat korupsi. Bila setingkat MK saja sudah terjebak Korupsi lalu siapa lagi yang bisa diharapkan untuk mencegah dan melawan korupsi? Mungkin hanya KPK satu-satunya lembaga yang masih bisa kita andalakan. Kita tidak tahu apa yang terjadi bila sampai KPK juga terjangkit kasus korupsi. Kasus ini setidaknya akan semakin menambah rasa pesimis dari rakyat untuk mengharapkan terwujudnya “Indonesia Tanpa Korupsi”, Indonesia yang bersih dari praktek-prakter korupsi yang merugikan negara.

Rakyat akan semakin kehilangan kepercayaannya pada institusi negara. Dan yang paling kita takutkan adalah ketika harapan untuk mewujudkan “Indonesia Tanpa Korupsi” itu benar-benar pupus. Karena bila telah pupus, maka sudah tidak mungkin lagi ada perlawanan terhadap korupsi. Kita tidak tahu bagaimana nasibnya negeri ini bila korupsi sudah tidak ada lagi yang melawan. Ini sama artinya kita menyerah pada para koruptor, dan akan terus membiarkan budaya korupsi semakin menyebar karena tak ada perlawanan untuk mencegahnya.
Padahal sudah jelas, korupsi ini merugikan banyak pihak. Betapa banyak kekayaan negara yang hilang begitu saja karena korupsi bahkan bukan hanya itu, budaya-budaya sejenis seperti praktek suap, kolusi, dan nepotisme selain mengurangi kas negara juga membawa negara ini pada kebijakan kebijakan yang merugian. Betapa banyak aset negara yan jatuh ke tangan asing karena perjanjian- perjnjian yang jelas-jelas merugikan negara. Ketika seorang pejabat mau menerima suap maka akan dengan mudahnya ia bisa “menjual” bangsanya sendiri pada pihak-pihak tidak bertanggungjawab, asal perut sendiri ‘kenyang’ dan nafsunya akan harta yang melimpah bisa terpenuhi.

Inilah yang tidak pernah kita harapkan, karena bila pejabat sendiri telah berani menjual bangasanya maka siapa lagi yang diharapkan mampu untuk memajukan bangsa ini? Bila para wakil rakyat sudah tidak peduli lagi pada urusan negeri dan lebih mementingkan perut sendiri maka siapa yang bisa kita harapkan untuk menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan?

Mungkin memang benar bila para petinggi negeri sudah tidak peduli lagi pada urusan negeri dan lebih senang memperkaya diri sendiri dengan memanfaatkan fasilitas yang diberikan negara maka satu-satunya yang masih bisa kita harapkan adalah para pemudanya. Pemuda yang tetap teguh memelihara idealismenya. Pemuda yang punya cita-cita tinggi untuk menyelamatkan negeri ini dari keterpurukannya. Karena memang puncak-puncaknya seseorang bisa teguh memegang idealisme kebanyakan adalah di masa mudanya. Di masa muda inilah kita belum terpengaruh dengan banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Tidak sedikit kasus korupsi yang berawal dari tuntutan istrinya sendiri yang menginginkan harta berlebih. Di masa muda kita belum menempati posisi yang beresiko sehingga tidak mungkin bisa terjebak dalam lubang korupsi. Tentu harusnya di masa inilah kita benar-benar terhindar dari maslaah korupsi dan benar-benar memberi perlawanan bagi perkembangan budaya yang satu ini.

Namun pada kenyataannya kita tidak bisa bila hanya mengandalkan pemudanya. Pada kenyataannya praktek korupsi ini telah berawal dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang kita lakukan sejak mudanya. Banyak sekali kita temukan pemuda yang mengaku benci dengan korupsi dan koruptor namun ternyata dirinya sendiri masih menyontek saat ujian. Banyak kita temui mahasiswa yang masih senang TA (Titip Absen) ketika tidak datang kuliah. Banyak sekali kebiasaan-kebiasaan kecil lain yang bisa digolongkan dalam tindakan korupsi hanya saja lingkupnya yang lebih kecil dan tidak selalu berwujud uang.

Orang yang menyontek misalnya, dia sama saja mencari nilai dengan cara yang tidak sesuai, “korupsi nilai” mungkin bisa kita katakan demikian. Mungkin sebagian kita akan mengatakan saat ini menyontek tapi tidak tidak akan korupsi nantinya. Tentu ita akan menguji logika berpikir yang satu ini. Karena pada dasarnya bila demi nilai rapor/IP/ijazah saja kita berani berbuat curang  maka apa jadinya bila suatu saat nanti kita mendapat jabatan yang membuka kesempatan untuk korupsi?

Padahal kebanyakan nilai Rapor/IP/ijazah itu sendiri kita gunakan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, hingga kita gunakan untuk melamar pekerjaan yang ujung-ujungnya pun untuk nyari “uang”.  Sedangkan kita tahu pada kenyataannya nilai IP/ijazah itu sendiri belum tentu bisa menjamin kita mendapat pekerjaan, tingginya IP belm tentu berbanding lurus dengan besarnya gaji. Kalau untuk yang demikian saja kita sudah begitu rakusnya sampai berani berbuat curang apa jadinya bila kesempatan meraih harta itu terbuka lebar dan kita punya akses untuk mendapatkan uang lebih banyak dengan cara yang lebih mudah? Yakin bisa tahan terhadap godaan korupsi?

Memang pada akhirnya budaya materialisme inilah yang menjadi akar merebaknya kasus korupsi. Kesuksesan hanya diukur dari banyaknya harta. Walasil apa pun dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, tidak peduli lagi dari jalur mana kekayaan itu didapat. Yang penting dipandang sukses, banyak harta, punya mobil, punya rumah mewah, seakan-akan ukuran keberhasilan hanya ada pada banyaknya perbendaharaan dunia yang dimilikinya.

Padahal bangsa ini tidak tegak kecuali dengan perantaraan perjuangan dan pengorbanan pahlawan-pahlawan kita. Seseorang kita katakan sebagai pahlawan bukan dari banyaknya harta dan perbendaharaan dunia yang dimilikinya namun justru dari sebesar apa pengorbanan yang telah diberikannya. Mereka mengorbankan harta, waktu, tenaga hingga nyawanya demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Bukan mengharapkan imbalan, bukan pula mengharapkan  pujian, mengabdi semata-mata demi keselamatan dan kehormatan bangsanya.

Sebesar apa pun masalah korupsi di negeri ini, satu langkah awal yang tidak boleh kita tinggalkan adalah terus berharap. Jangan sampai besarnya masalah membuat kita putus asa, dan menyerah, merasa tidak mungkin lagi mewujudkan Indonesia yang bersih dari praktek korupsi. Mulai dari impian, mulai dari cita-cita karena bila untuk bermimpi saja kita tak berani bagaimana hendak mewujudkannya? Bila berharap saja tak pernah bagaimana hendak berubah?

Dengan cita-cita yang tinggi itulah kita mampu terus berjuang melawan korupsi di negeri sendiri. Bahkan tidak cukup bermimpi,  perlawanan melawan korupsi ini tentunya membutuhkan  kesungguhan dan ketegasan sikap pemerintah. Pemberian hukuman yang ringan tentunya hanya tidak akan memberi efek jera bagi para pelakunya. Kita bisa mengambil contoh negara-negara seperti China, yang berhasil menuntaskan masalah korupsi dengan ketegasannya.

Menyebarluasnya korupsi bukan berarti kita akan memaklumkan kebiasaan ini. Kita tetap mengharapkan adanya perubahan, kita terus berharap budaya ini bisa benar—benar hilang dari negeri tercinta. Bila negara-negara lain berhasil mengatasi korupsi, mengapa kita tak bisa? Banyak sekali kas negara yang bisa diselamatkan bila tidak ada korupsi. Betapa banyak dana yang bisa disalurkan untuk kepentingan rakyat bila tak ada korupsi. Betapa banyak kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan bila tidak “dijual” pihak-pihak tak bertanggungjawab.

Bila benar-benar ingin masalah korupsi terhapuskan dari negeri ini maka sudah sepantasnya kita bersungguh-
sungguh dalam memberikan perlawanan. Yang kita hadapai bukan satu-dua orang, namun satu sistem raksasa yang melibatkan banyak orang di dalamnya. Tentu akan banyak rintangannya, akan sangat banyak yang memusuhi kita, mengatasi satu orang saja mungkin kita kewalahan apalagi hendak mengubah seisi negeri. Kita harus benar-benar sungguh-sungguh dan mengupayakan segenap tenaga untuk mengalahkan ‘musuh’ yang satu ini.

Tidak mungkin perlawanan in kita lalukan sendiri. Bila benar-benar serius ingin mewujudkan “Indonesia Tanpa Korupsi” maka kita harus bekerjasama dengan semua elemen masyarakat maupun pemerintah untuk menolak dan memerangi korupsi. Tidak cukup mengandalkan pemerintah, tidak cukup mengandalkan KPK tidak cukup mengandalkan Polri, TNI, MK namun infra struktur negara, lembaga-lembaga masyarakat di setiap lini pun perlu dikerahkan bersama untuk menghentikan budaya yang satu ini. Seluruh elemen masyarakat, dari rakyat sipil, mahasiswa, guru, swasta, aktifis LSM perlu bersama-sama menolak dan memerangi budaya korupsi ini.

Namun yang paling penting adalah bagaimana untuk terus memberikan perlawanan mulai dari lingkungan terkecil, dengan mengubah kebiasaan yang sehari-hari kita lakukan. Kejujuran dalam berbagai tindakan harus selalu diutamakan. Sebagai pelajar harusnya benar-benar menghindari kebiasaan menyontek dalam ujian. Seorang pedagang harus jujur dan tidak menipu pelanggannya. Apa pun posisinya melawan budaya korupsi sama artinya melawan segala bentuk kedustaan dan tindak kecurangan.  Ketika semua daya dan upaya sudah dirasa tak ada faedahnya maka satu-satunya yang masih bisa kita lakukan adalah terus berharap dan memanjatkan do’a-do’a. Karena bisa jadi merajalelanya kasus korupsi adalah salah satu adzab dariNya atas kesalahan-kesalahan kita yang tidak pernah kita sadari. Semoga Allah selamatkan bangsa ini dari bahaya korupsi. Aamiin.

10/06/2013

Antara Cemas dan Harap



Diutusnya para rasul selalu memilki dua peran penting yang tidak bisa dipisahkan, yakni sebagai pemberi peringatan serta pembawa kabar kembira. Pemberi peringatan kepada orang-orang yang ingkar dengan kabar datangnya adzab yang pedih, serta pemberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman akan datangnya kenikmatan surga yang tak terbayangkan besarnya. Kedua masalah ini selalu disandingkan. Seakan-akan menandakan pentingnya menghadirkan rasa cemas (takut siksa neraka) dan harap (mengharapkan surga).

Kehadiran rasa cemas dan harap itu mutlak diperlukan bagi yang menghendaki adanya perbaikan. Dengan rasa cemas seseorang akan sadar sekecil apa pun kesalahan tidak layak untuk disepelekan, sadar masih banyak yang perlu diperbaiki, masih banyak ‘PR’ yang harus dikerjakan, tidak mungkin akan duduk diam ketika masalah-demi masalah itu belum menemukan peyelesaiannya. Ketika melihat kondisi bangsa, tentunya kita akan dihadapkan pada berbagai permasalahan yang cukup membuat kita cemas. Mulai dari masalah korupsi yang semakin menjadi-jadi, kenakalan remaja, krisis kejujuruan, pergaulan bebas, kriminalitas, hilangnya integritas, hilangnya kepedulian akan permasalahan bangsa, dan masih banyak lagi. Belum lagi masalah ekonomi, pendidikan  serta politik yang semakin carut marut dan perlu segera diadakan perbaikan.

Masalah-masalah ini tentunya membuat kita cemas, dan yang lebih penting lagi membuat kita sadar bahwa perjuangan untuk  memperbaiki bangsa ini masih cukup panjang, masih banyak permasalahan yang perlu dipecahkan, masih banyak ‘PR’ yang menanti untuk segera dituntaskan. Tidak sepantasnya kita duduk diam dan tidur tenang ketika masih banyak permasalahan yang belum ditemukan solusinya. Masalah satu belum selesai muncul lagi masalah lainnya, setiap hari kita selalu disuguhkan dengan berita-berita yang menambah kecemasan kita akan kondisi bangsa.

Namun terlalu cemas dan takut pun tidak selamanya benar. Terkadang berlebihannya ketakutan dan kecemasan justru mampu memadamkan api semangat dan membuat kita pesimis akan adanya perbaikan. Gejala-gejala ini mulai dapat kita rasakan. Banyak masyarakat di luar sana yang sudah sangat pesimis, putus asa dan beranggapan perbaikan bangsa sudah tidak mungkin lagi. Di antara mereka ada yang berkata “kasus korupsi sudah tidak mungkin dituntaskan lagi”, menganggap gagasan indonesia bersih dari korupsi hanya sebuah utopia, omong kosong belaka. 

Sikap seperti inilah yang tidak kita inginkan, karena ketika seseorang telah kehilangan harapannya maka akan semakin sulit diharapkan hadirnya perubahan, akan semakin sulit diharapkan hadirnya suatu perbaikan. Bila setelah lelah berjuang saja belum tentu menuai keberhasilan bagaimana hendak kita harapkan keberhasilan dari mereka yang menyerah, mundur sebelum berperang? Sikap apatis seperti inilah yang akan membahayakan bangsa, menjerumuskan kita menuju keterpurukan yang semakin dalam. 

Untuk itu, disamping rasa cemas, rasa harap juga perlu kita pupuk. Dengan rasa harap inilah kita berani bermimpi setinggi-tingginya. Dengannya kita bisa punya daya juang tinggi, tetap yakin di saat yang lain ragu. Tetap optimis dan tak mudah menyerah meski banyak permasalahan yang menghadang. Perasaan inilah yang membuat kita tetap tenang dan terus bergerak melakukan perbaikan di saat yang lain menambah kerusakan.

Memang banyak permasalahan yang dapat membuat kita cemas, namun hal-hal yang mampu membangkitkan harapan pun tak kalah banyaknya. Indonesia negara yang besar, kita negara dengan wilayah yang luas, penduduk yang tak sedikit serta dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah. Setidaknya hal ini modal yang cukup bagi kita untuk bangkit memperbaiki kondisi negeri. Tak hanya sumber daya alam, sebenarnya dari segi SDM pun kita tidak tertinggal dari lainya. Kita pernah punya B.J. Habibie yang kepandaiannya pun diakui dunia internasional, dan kini kita punya banyak pemuda dengan berbagai prestasi yang membanggakan nusantara.

Gerakan-gerakan perbaikan pun mulai terlihat tumbuh dari masyarakat sendiri. Bermunculannya trainer/motivator dengan pelatihan-pelatihannya sedikit-demi sedikit memperbaiki pola pikir masyarakat. Yang semula takut berwirausaha, sekarang bermunculan entrepreuner-entrepreuner muda dengan usaha kreatifnya yang semakin menguatkan perekonomian bangsa. Perbaikan dari segi moral dan agama pun semakin terasa dampaknya.

Bermunculannya lembaga dakwah sekolah maupun kuliah semakin menunjang syiar-syiar islam dan turut berperan dalam advokasi yang terkait dengan kepentingan umat islam. Kehadiran rumah-rumah tahfidz juga telah membangkitkan kembali semangat menghafal quran dan telah mencetak hafidzh-hafidzoh yang tidak sedikit jumlahnya. Ini tentu suatu kemajuan yang patut kita apresiasi.

Munculnya gerakan-gerakan dari masyarakat turut membawa perbaikan bagi wajah negeri. Indonesia mengajar, Indonesia menghafal, Indonesia berjamaah, dan masih banyak lagi gerakan-gerakan dari akar rumput yang berperan aktif bagi perbaikan dan kemajuan bangsa. Munculnya penulis –penulis yang mengangkat tema-tema motivasi-religi juga telah mampu mewarnai wajah negeri dengan hal-hal yang lebih baik dan bermanfaat.

Ya, pada kenyataannya akan ada dua kubu yang senantiasa bersaing, kubu yang memperjuangkan kebenaran dan kubu yang memperjuangkan kebathilan, ada yang menebar perbaikan ada yang merusak. Besarnya kerusakan yang terlihat bukan berarti gerakan perbaikan telah mati, keduanya bagaikan dunia paralel yang bergerak masing-masing, terus bergerak maju dengan pencapaian masing-masing.

Harapan itu masih ada dan akan selalu ada. Jangan terlena ketika melihat kemajuan yang ada, karena masih banyak permasalahan yang perlu kita carikan solusinya. Namun jangan sampai putus asa ketika melihat kerusakan yang semakin menjadi-jadi, tetap berharap, tetap bermunajat, tetap berjuang di jalan kebenaran ini. Sudah menjadi janjiNya kebenaran ini akan dimenangkan, sudah menjadi ketentuanNya kebathilan akan terkalahkan, pertanyaannya ada di barisan manakah kita saat ini? Sejauh apakah kontribusi yang bisa kita berikan? Wallohua’lam bisshowwab

8/28/2013

Save Indonesia



Bila beberapa waktu lalu kita sering menjumpai hashtag #SaveEgypt di berbagai media sosial, baik twitter, facebook dan sejenisnya, untuk sat ini saya akan sedikit membahas masalah Indonesia dengan mengangkat judul SaveIndonesia. Sebenarnya pemilihan judul ini samasekali tak ada kaitannya dengan kasus Mesir, tak ada niatan untuk menyaingi karena terlintas keingingan untuk membuat tulisan ini justru beberapa hari ketika kasus pembantaian demonstran di Mesir belum mencuat. Mulai terbersit keinginan untuk membuat tulisan ini saat berada di mobil dengan keluarga dalam perjalanan menuju Gresik menuju rumah keluarga ipar saya di sana.
Ketika itu kami sedang membicarakan maraknya kasus MBA “Married by Accident” yang terjadi di sekitar kita akibat pergaulan bebas yang semakin kebablasan, bahkan kasus demikian telah menimpa orang-orang di sekeliling kita di Blora, ini yang membuat saya miris. Ternyata sudah sampai sejauh itu, dan karena saking banyaknya kasus demikian saya takut nantinya malah akan dianggap sebagai satu hal yang lumrah-lumrah saja, tidak membuat kita ‘gumun’ dan tergerak untuk mencegahnya, na’udzubilah.
Berangkat dari kasus itulah saya sadar ternyata di Indoensia ini masih punya banyak masalah yang hingga kini belum terselesaikan. Mulai dari pergaulan bebas yang semakin tak terkendali, kasus korupsi yang tidak ada ujung-ujungnya, kasus penipuan, maupun di bidang ekonomi dan pendidikan yang terkadang masih terdapat ketimpangan.
Masalah demi masalah seakan terus bermunculan, yang satu belum selesai muncul masalah lain, seakan tak ada henti-hentinya turut mengiringi perjalanan Indonesia. Tentu tidak ada maksud untuk pesimis, merendahkan maupun menjelekkan negeri sendiri. Sama sekali tidak ada maksud demikian, hanya ingin memeperjelas di mana posisi kita dan ke mana kita harus melangkah setelah ini. Justru bahaya terbesar adalah ketika kita merasa sudah tidak punya masalah lagi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, hingga akhirnya tidak ada yang akan kita rubah, dan kita akan terus-terusan terjebak dalam kesalahan yang sama.
Seperti dalam melakukan suatu eksperimen, hal terpenting yang harus dilakukan seorang peneliti adalah merumuskan masalah, baru kemudian dari rumusan masalah itu coba kita carikan solusinya. Memang yang paling sulit, seperti kata dosen saya adalah merumuskan masalah itu sendiri, mencari tahu apa yang sebenarnya sedang kita hadapi, karena bila telah mampu mendefinisikan secara jelas permasalahan itu kita tentu akan lebih mampu untuk mencarikan solusinya.
Dan inilah kenyataannya, negara kita memang memiliki berbagai permasalahan yang perlu untuk segera diselesaikan. Meski secara resmi kita telah merdeka, dan saya mensyukuri itu, namun bukan berarti perjuangan kita cukup sampai disini. Negara ini masih “sakit” dan perlu untuk segera disembuhkan.
Save Indonesia! Negara in membutuhkanmu, wahai pemuda Indonesia. Berhentilah menambah masalah negeri dengan kebodohan sikap dan perbuatanmu. Engkau yang seharusnya menjadi tulang punggug bagi perbaikan bangsa ini. Engkaulah calon pemimpin bangsa ini. Seharusnya engkau yang menjadi agent of change, namun kini kau malah jadi pihak yang perlu diubah dan diperbaiki.
Bukalah kedua matamu, segera bangun dari tidurmu, ada yang lebih penting untuk dipikirkan. Ada yang lebih penting ketimbang memikirkan romantisme buta dan cinta-cintaan ala remaja. Ada yang lebih penting ketimbang memikirkan ‘si dia’. Ada yang lebih penting dari game yang membuatmu kecanduan, ada yang lebih penting dari itu semua.
Bangunlah pemuda Indonesia, bangsa ini membutuhkanmu! Bangsa ini merindukan sosok pemuda yang akan mengguncangkan dunia. Engkau yang seharusnya berada di garda terdepan perbaikan bangsa ini kini malah menambah masalah bangsa dengan perilakumu yang kebablasan. Bangunlah dan bersama-sama mulai kita selamatkan Indonesia. Berhentilah menyusahkan bangsa, dan berusahalah membantu bangsa ini menuntaskan permasalahannya.
Kalau bukan kalian siapa lagi? Mereka yang di atas, sebentar lagi akan terganti. Bila bukan kalian siapa lagi? Kalianlah yang seharusnya palih teguh memegang kebenaran, tak terpengaruh pihak-pihak  berkepentingan .
Save Indonesia! Berbagai permasalahan di negeri ini masih menanti untuk dipecahkan. Bila tak mampu memperbaiki seluruhnya paling tidak jangan menambah masalah dengan menjadi pihak-pihak yang bermasalah. Berhentilah dari semua kebodohanmu, buka matamu dan bersama-sama kita menjadi agen penyelamat bagi bangsa ini.
 Tak perlu menunggu pemerintah untuk menyelematkan negeri. Cukup dengan berhenti menambah masalah dan beralih menjadi agen-agen pemecah masalah.  Jadilah yang memperbaiki disaat yang lain merusak, jadilah yang memberi harapan baru, di saat yang lain mengecewakan. Kerahkan seluruh daya upayamu demi perbaikan negeri, jangan mengharapkan imbalan kecuali dari sang Ilahi. Lakukanlah dengan cinta, karena cinta itulah yang akan membakar semangat dihati, menghilangkan segala kemalasan, dan memberi ketegaran untuk tetap berjuang meski mendengar kabar memilukan.
Bangunlah sahabatku, selamatkan bangsamu,  selamatkan Indonesia!
Harapan itu masih ada dan akan selalu ada.
Semoga Allah selamatkan bangsa ini dari segala keburukan, dan menjadikannya baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur(Negeri yang baik dengan ampunan Dzat Yang Maha Pengampun). Aamiin.
 Sigit Arif Anggoro
TekFis UGM  '12

8/10/2013

Memang Tak Mudah untuk Mengingatkan



Ada yang berbeda dari Ramadhan tahun ini. Bila biasanya Ramadhan dengan keluarga di Blora, kali ini hampir sebulan saya habiskan hari-hari Ramadhan di Jogja, lebih tepatnya di pondok pesantren Al Barokah tempat saya berteduh dan menimba ilmu agama. Memang Ramadhan ini di pondok saya semakin padat kegiatannya. Mulai dari ngaji kitab, ngaji qur’an, tarawih, tadarrus, hingga beberapa perlombaan yang diselenggarakan panitia Ramadhan pondok.
Kebetulan untuk tahun ini saya pribadi juga diminta membantu kepanitiaan yakni di bagian keamanan. Tugasnya sebenarnya simpel, hanya ‘ngoprak-oprak’(mengingatkan) santri lain untuk segera mengikuti berbagai kegiatan pondok. Mulai dari membangunkan sahur, mengingatkan Shubuh berjamaah, mengingatkan ngaji, tarawih, dan kegiatan-kegiatan Ramadhan lain yang sudah disiapkan panitia acara. Dengan tugas lainnya membuat jadwal piket lebaran.
Intinya saya harus memastikan santri mengikuti rangkaian kegiatan Ramadhan tepat pada waktunya. Di sini yang menjadi tanggung jawab saya hanya teman-teman sekomplek, yakni komplek Al-Fatih, sementara untuk komplek lain sudah ada penanggungjawab keamanannya masing-masing. Karena berjalannya ketika sudah mulai acara, di awal-awal rapat tidak ada kesulitan, tidak seperti bagian acara yang harus mengkonsep detail acara, atau humas yang harus mengurus perizinan dan menghubungi jamaah terkait ta’jil dan sejenisnya, kita tenang-tenang saja tak ada persiapan berarti karena memang tak membutuhkan persiapan.
Awalnya saya kira tugasnya akan ringan-ringan saja, karena memang tak serumit panitia lain seperti yang dari acara, humas, atau konsumsi, sangat simpel dan jelas tugas yang harus kami lakukan. Namun ternyata setelah dijalani, tak semudah yang dibayangkan. Butuh kesabaran ekstra untuk konsisten keliling ke kamar-kamar di komplek kami dan mengingatkan penghuni-penghuninya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pondok. Bagaimana tidak setiap hari harus keliling membangunkan sahur, shubuh, ngaji sore, ngaji ba’da maghrib, tarawih.
Untuk sehari saja paling tidak lima kali kami harus keliling mengingatkan teman-teman santri. Padahal tak hanya sehari, setiap hari sejak awal Ramadhan sampai akhir kami harus berulang-ulang mengerjakan tugas ini. Tentunya membutuhkan kesabaran lebih, dan tidak boleh bosan-bosan mengingatkan karena itulah yang sudah menjadi tugas keamanan.
Mungkin akan sedikit mudah bila yang diingatkan tanggap  dan langsung berangkat ketika kita ingatkan namun  masalahnya tidak semua santri bisa demikian. Pada kenyataannya kita harus menghadapi watak santri yang berbeda-beda. Ada yang ketika diingatkan langsung tanggap, tapi kebanyakan tidak menghiraukan, dan tak mau langsung bergerak mengikuti kegiatan pondok. Meski sudah diingatkan tetap saja bermalas-malasan tak mengindahkan ajakan kami, inilah yang terkadang membuat capek, apalagi setiap hari harus berhadapan dengan hal demikian.
Ketika kita coba memberi contoh dengan hadir lebih awal dikatakannya “Keamanan kok datang duluan? harusnya belakangan datangnya ingatkan teman-teman dulu baru berangkat!”. Ketika kita coba mengingatkan dengan lembut malah tak dihiraukan, dikatakannya “Kalau mengingatkan yang tegas donk! Kalau lembek gitu nggak akan dihiraukan”. Ketika kita coba untuk lebih tegas, hingga kadang memukul santri dengan sajadah malah dimarahi dan dikatakannya “Kalau mengingatkan yang sopan, tak perlu keras-keras!”. Lalu sebagian mencoba bijak menasihati “satu tauladan lebih baik dari seribu ucapan, daripada mengingatkan terus seperti itu lebih baik kamu beri contoh berangkat duluan!” Padahal sebelumnya sudah mencoba demikian dan hasilnya pun nihil.
Selalu berputar-putar seperti itu, semua yang kita kerjakan seakan tidak ada benarnya. Kalau mencoba memberi contoh, berangkat duluan dikatakan melalaikan tugas. Kalau mengingatkan secara lembut, dikatakan tak tegas. Kalau mengingatkan dengan tegas dikatakan tak sopan malah dikatakan lebih baik memberi contoh baik daripada mengingatkan terus. Tidak ada benarnya, semuanya terlihat salah dalam pandangan mereka.
Pada akhirnya saya pun belajar. Memang demikianlah karakteristik manusia ketika diajak atau diingatkan pada kebaikan. Tidak semuanya akan sanggup menerima dengan baik. Meskipun telah kita gunakan metode terbaik, akan selalu saja alasan untuk mengorek-ngorek cela kita. Dan pada akhirnya bila menuruti perkataan manusia tidak ada yang cukup benar untuk dilakukan.
Tugas kita sebenarnya hanyalah mengingatkan, dan terus mengingatkan. Adanya penolakan sudah menjadi hal yang wajar, dan jangan dijadikan alasan untuk berhenti mengingatkan. Tidak usah pedulikan komentar mereka, yang penting kita sudah mencoba mengingatkan dan menggugurkan kewajiban. Adapun mengenai hasil biar Allah yang menentukan, karena bukan hak kita pula memberi hidayah pada orang yang kita kehendaki.
Adanya penolakan hendaknya jangan terlalu dijadikan beban pikiran, susah sendiri jadinya. Tetap tenang dan terus mengingatkan, insya Allah dengan keistiqomahan kita itulah lama-kelamaan hati mereka bisa luluh dan beralih mengindahkan peringatan. Tugas kita hanya mencoba semaksimal mungkin untuk mengingatkan, jangan karena ada penolakan kita jadi futur dan merasa usaha kita tak ada gunanya. Sedikit banyak pasti berguna, entah sekarang atau nanti kita jangan tergesa-gesa mengharapkan hasilnya, sekali lagi fokus pada tugas bukan hasil.
Asal tugas sudah kita kerjakan dengan baik, maka sisanya tinggal tawakkal. Dan jangan lupa juga tetap didoakan, karena doa adalah senjata seorang mukmin. Setelah mencoba istiqomah, pada akhirnya terbukti beberapa anak ada yang mulai simpati bahkan akhirnya membantu kami untuk mengingatkan santri-santri lainnya. Inilah buah dari kesabaran itu, dengan terus bersabar ketika menghadapi berbagai gangguan dalam mengingatkan lama-kelamaan orang yang melihat kita akan bersimpati dan beralih mendukung usaha kita.
Apa yang kita lakukan ini tentu belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan Rasulullah dalam mendakwahkan islam pada ummatnya. Bahkan ia harus bersabar dalam mendakwahi mereka yang jelas-jelas masih dalam kekafirannya. Tak sekedar penolakan, bahkan sampai cemoohan, teror fisik, hingga upaya-upaya pembunuhan pun telah beliau alami. Namun semua itu tak membuatnya sedikit pun berkeinginan untuk berhenti berdakwah. Bahkan ketika ditawari harta, tahta dan wanita untuk menghentikan dakwahnya pun ditolaknya.
“Wahai paman, meski pun mereka meletakkan matahari di kananku dan bulan di kiriku agar aku berhenti dari da’wah ini, pastilah tidak akan kulakukan. Hingga nanti Allah Subhana Wa Ta’ala menangkan da’wah ini atau aku mati karenanya”, sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Alangkah malunya diri ini bila melihat perjuangan beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Malu sekali bila baru mengingatkan sedikit kita sudah mundur karena mendapat penolakan. Malu bila berhenti mengingatkan hanya karena tak mendapatkan jawaban dari seruan.
Alhamdulillah, saya belajar banyak Ramadhan ini. Mulai sekarang tak perlu risau lagi ketika mendapat penolakan saat mengingatkan dan mengajak pada suatu kebaikan. Karena memang dakwah tidaklah cukup sekali dua kali mengingatkan namun sebuah proses panjang untuk mengubah dan memperbaiki pribadi individu-individunya. Ketika ditolak pun jangan pernah menganggap kita telah gagal sepenuhnya, dan telah sia-sia upaya kita karena barangkali dengannya suatu hari nanti hatinya akan luluh dan beralih mengerjakan kebaikan yang kita serukan.
 Batu yang keras pun bisa retak dengan tetesan-tetesan air yang berulang-ulang, seperti itu pula hati yang keras, dengan sedikit demi sedikit peringatan barangkali bisa berubah. Toh kalau pun pada akhirnya tak berubah, setidaknya Allah telah mencatat amal kita dan telah gugurlah kewajiban kita. Mudah-mudahan Allah anugerahkan kepada kita hidayah-Nya hingga senantiasa tergerak untuk melakukan perbaikan. Wallohua’lam bishshowwab ^^
“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”
“Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), ‘Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung.”
Sigit Arif Anggoro




8/06/2013

Jalan ini Jalan Penuh Rintangan



“Semakin tinggi pohon semakin kencang angin menerpa” begitu kata pepatah, nampaknya hal ini lah yang bisa kita gunakan untuk menunjukkan betapa semakin tinggi kedudukan seseorang di mata Allah maka akan semakin berat pula ujian dan cobaannya. Beratnya ujian berbanding lurus dengan tingginya derajat seorang hamba. Setiap hamba-Nya yang terpilih pasti mengalami ujian dan cobaan, bahkan hingga para Nabi dan Rasul pun mengalami ujian.
Ada Nabi Nuh a.s. yang berdakwah hingga beratus-ratus tahun namun hanya mendapat pengikut segelintir orang. Ada Nabi Ibrahim yang harus menyembelih puteranya sendiri padahal baru berjumpa setelah lama berpisah. Ada Nabi Musa yang harus melawan Fir’aun dan bala tentaranya yang adikuasa, ada Nabi Dawud yang harus melawan Jalut. Ada juga Nabi Ayyub yang harus bersabar atas penyakit yang menimpanya.
Semua Nabi dan Rasul diuji, demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Makhluk yang paling Allah cintai ini pun tak luput dari ujian. Bahkan bisa dikatakan ujian beliau adalah yang paling berat diantara yang lainnya. Mulai dari ejekan, kecaman bahkan pernah sampai dilempari kotoran. Baik secara fisik maupun mental Rasulullah menjadi seorang yang paling banyak mendapatkan cobaan.
Dari sisi fisik seperti ketika harus diboikot oleh bangsa Arab, hingga terputus pintu perdagangan dan kesulitan untuk mencari makanan guna mempertahankan kehidupannya. Tak lupa ketika beliau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam harus dilempari batu saat mencoba mendakwahi rakyat Thaif, namun anehnya bukannya mendendam beliau malah mendoakan mereka dengan doa terbaiknya. Masih teringat pula ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam harus  mengalami cedera dan luka parah, terperosok dalam lubang, gigi patah, dan darah mengalir deras di wajahnya saat perang Uhud. Dan beliau pula lah yang menahan laparnya dengan mengganjal perutnya dengan dua batu di saat umatnya mengganjal perut mereka dengan satu batu dalam perang Ahzab.
 Belum lagi ujian mental. Mulai dari wafatnya istri dan paman beliau di waktu yang hampir bersamaan. Padahal selama ini mereka berdua yang selalu melindungi dan menyokong dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga dikatakanlah tahun tersebut, tahun kesedihan. Juga beredarnya fitnah yang menyakitkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilancarkan kaum munafiqun terhadap istri Nabi, ‘Aisyah r.a. Dan masih banyak lagi beban mental yang menimpa Nabi dalam perjuangannya menegakkan kalimatullah.
Kemudian timbul pertanyaan mengapa tidak Allah mudahkan jalan mereka? Padahal mereka adalah orang-orang yang paling dikasihi-Nya? Bila Allah mau mudah saja bagi-Nya untuk mengalahkan semua musuh-musuh mereka. Mudah sekali bagi-Nya untuk menjadikan semua umat mereka beriman, tapi mengapa Allah tak melakukan semua itu dan justru membiarkan mereka menempuh jalan yang tak mudah dan penuh rintangan?
Semua ini hendak Allah jadikan pelajaran bagi kita semua. Bahwa adanya ujian dalam perjuangan di jalan-Nya adalah suatu hal yang lumrah. Allah hendak  memilah-memilah, memisakan antara yang beriman dengan yang ragu, antara yang bersabar dengan yang menyerah, antara yang berjihad dengan yang duduk diam. Dengannya Allah tinggikan derajat orang-orang yang mampu bertahan, dan dengannya Allah hinakan orang-orang munafik yang masih terjebak dalam keragu-raguannya. Seperti ketika turun perintah untuk berjihad, maka seorang beriman akan langsung memenuhi panggilan jihad tanpa takut kehilangan harta, waktu, hingga nyawanya. Namun bagi si munafik, ia akan langsung mundur ke belakang, mengurai berjuta alasan untuk tak ikut terjun ke medan perang.
Seorang yang beriman ketika diuji dengan ujian yang berat akan terus bersabar, dan yakin bahwa Allah tidak akan menguji seseorang melebihi kemampuannya. Yakin pula di balik semua ujian ini Allah telah menyiapkan akhir yang baik bagi kita baik di dunia maupun di akhirat nanti. Seperti itu pula kemenangan umat Islam, ketika mampu bersabar maka Allah beri kemenangan gemilang. Padahal sebelumnya selalu diteror dan tidak punya daya untuk melawan, namun hanya dalam beberapa tahun mampu membalik keadaan dan menaklukan seisi Makkah di bawah bendera Islam.
Ada satu pola yang hampir selalu sama yang akan dialami seorang penyeru kebenaran. Yang pertama adalah berjuang di jalanNya, menyeru pada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar. Kemudian bersabar terhadap apa-apa yang menimpanya dalam jalan perjuangannya. Lalu yang terakhir adalah kemenangan yang Allah anugerahkan sebagai buah kesabaran dalam menempuh jalan kebenaran ini. Seperti itulah yang Allah anugerahkan kepada Nabi Musa ketika menghadapi Fir’aun dan bala tentaranya, seperti itu pula yang Allah anugerahkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat ketika mendakwahkan islam pada ummatnya.
Awalnya menyeru ummat pada kebenaran Islam. Kemudian harus bersabar atas segala cercaan, siksaan dari kaum Quraisy yang tidak menyukai dakwahnya. Bertahun-tahun Rasulullah dan sahabat berada dalam kondisi sulit, diuji dengan berbagai teror dari kaum Quraisy. Namun pada akhirnya, dalam waktu yang begitu singkat Allah muliakan ummat islam hingga mampu membangun basis massa di Madinah, mampu memberi perlawanan hingga akhirnya Allah anugerahkan kemenangan yang dekat (Fathun qoriib).
Begitu pula kita bila hendak mencapai keberhasilan dalam segala perjuangan kita. Adanya ujian dan rintangan harusnya tak membuat kita mundur dan berbalik ke belakang, karena sudah menjadi hal yang lumrah seorang akan diuji ketika memperjuangkan kebenaran. Tidak perlu takut dan panik ketika ada yang memusuhi. Adanya pihak-pihak yang memusuhi bukan berarti kita telah salah dalam menyampaikan, dan bukan berarti yang kita sampaikan adalah suatu kesalahan. Karena sudah menjadi hal yang lumrah bila disampaikan kebenaran, orang-orang yang tidak menyukai kebenaran itu akan memusuhi, karena sudah menjadi sunnatullah-Nya ada orang yang mengikuti kebenaran dan ada yang memusuhi, ada yang beriman ada yang kafir, justru patut dipertanyakan bila perjuangan kita tidak menemui halangan, rintangan atau tidak ada yang memusuhi. Barangkali kita belum benar-benar berjuang atau yang kita perjuangkan bukanlah kebenaran itu sendiri.
Namun bukan berarti pula ketika banyak yang memusuhi pertanda kita di pihak yang benar. Kita perhatikan siapa yang memusuhi, apakah dari orang-orang beriman atau yang fasik, karena bila yang memusuhi orang-orang beriman maka bisa jadi kita memang telah membuat suatu kesalahan. Karena mukmin satu dan mukmin lainnya bagaikan cermin, seorang mukmin tidak akan mengingatkan sesuatu kepada saudaranya melainkan apa yang benar dan terbaik baginya. Maka perhatikanlah dan jangan remehkan nasihat dari saudara-saudaramu yang beriman.

Hendaknya kita tetap berjuang, terus bermunajat memohon pertolonganNya, dan bersabar hingga datangnya hari-hari kemenangan. Kemenangan itu dekat, tinggal kita mau sabar atau tidak dalam menanti datangnya pertolongan Allah. Allah hanya ingin melihat sejauh mana perjuangan kita, sejauh mana mujahadah kita dalam menolong agama-Nya. Dengannya Allah ingin agar kita melanggengkan ubudiyah kita, membuktikan keimanan kita dengan jatuh bangun di medan perjuangan, tak sekedar menjalankan ibadah ritual namun lebih luas lagi, berjihad dan bersabar dalam perjuangan menolong agama-Nya.
Ada satu hal yang menarik di sini, ketika kaum muslimin telah memperoleh kemenangan, maka yang dilakukan bukannya bersenang-senang dengan kemenangannya namun malah memutuskan untuk terus berjuang meninggikan kalimatullah di bumi-Nya. Mereka tahu kenikmatan sejati adalah kenikmatan di akhirat nanti, sementara dunia tidak lain hanyalah lahan untuk menanam, berjuang, dan berjihad membuktikan keimanan yang telah diikrarkan. Kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan yang melalaikan. Maka selesai dari satu pekerjaan, mereka akan beralih mengerjakan pekerjaan lainnya demikian terus berlanjut hingga kematian menjemputnya.
“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)
Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman 17)
“Bersabarlah dirimu sebagaimana bersabarnya Ulul Azmi dari para rasul dan janganlah kamu meminta disegerakannya adzab bagi mereka (kaum musyrikin)” (al-Ahqaf : 35)
 “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (az-Zumar : 10),
Wallohua’lam bisshowwab
Sigit Arif Anggoro
TF UGM ‘12

Ramadhan Bulan Tarbiyah



Kehadiran bulan Ramadhan merupakan anugerah besar yang telah Allah berikan kepada umat manusia. Inilah bulan diturunkannya Qur’an, dilipatgandakannya pahala, dibukanya lebar-lebar pintu taubat, serta dibukanya pintu surga. Inilah kesempatan yang tepat untuk benar-benar bertaubat, inilah momen yang tepat untuk semakin mendekat kepada-Nya. Inilah bulan tarbiyah, dimana kita di’gembleng’ sebulan penuh untuk mengoptimalkan amal shalih dan menjauhi segala perbuatan yang tidak bermanfaat lebih-lebih maksiat. Banyak hal yang kita dapat ambil pelajaran dari kehadiran bulan Ramadhan ini.
Di bulan inilah kita dilatih untuk sabar. Mulai dari sabar menahan makan, minum dan segala perkara yang membatalkan dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Sabar untuk menjauhi segala hal yang bisa mengurangi pahala puasa. Sabar dalam memperbanyak amal-amal shalih, seperti memperbanyak tadarrus, sholat malam (tarawih), dan ibadah-ibadah lain yang pada umumnya tidak kita lakukan di bulan-bulan selain Ramadhan.
Semua orang yang beriman pasti diuji kesabarannya, tak terkecuali para Nabi dan Rosul, justru mereka yang paling berat ujiannya dan paling besar kesabarannya. Kualitas keimanan seseorang dapat dilihat sejauh mana ia mampu bersabar ketika diuji. Sedangkan sabar sendiri dibagi tiga, sabar dalam menjalankan ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat dan sabar ketika ditimpa musibah. Tentu bila dibandingkan ujian para Nabi, perintah puasa sebulan penuh ini tidak ada apa-apanya, kesabaran yang dilakukan pun masih jauh dari kesabaran mereka dalam mengemban risalah.
Setidaknya ini memberikan gambaran, bahwa memang seorang muslim yang ingin mulia di akhiratnya harus mampu bersabar dalam segala hal di dunianya. Dunia ini bukan tujuan akhir, inilah sarana kita untuk menanam, beramal shalih, berjihad di jalan-Nya dan mencari keridhoan-Nya. Bagi seorang muslim lelah sebentar di dunia tidak menjadi masalah karena di akhirat nanti disempurnakan balasan atas segala amal shalihnya, lebih baik sabar sekarang daripada menyesal esok hari. Hanya dengan bersabar menempuh jalan-Nya inilah kita mampu meraih kebahagiaan sempurna di akhirat nanti.
Selain sabar kita juga belajar ikhlas di bulan ini. Karena di bulan inilah sebulan penuh kita puasa, sedang puasa itu sendiri tidak ada yang tahu kecuali kita dan Allah. Bahkan Allah sendiri yang menilai dan memberi pahala atas puasa kita. Bila kita mau mungkin kita bisa diam-diam membatalkan saat orang lain tak melihat. Namun nyatanya kita tetap bertahan meski tidak ada yang melihat karena memang puasa kita bukan sesuatu yang hendak dipamer-pamerkan melainkan hanya untuk Allah semata.
Di sinilah kita belajar muraqabah, merasa selalu diawasi oleh-Nya. Meskipun tidak ada yang melihat kita tetap menjaga puasa kita karena tahu Allah sendiri yang mengawasi kita dan akan menilai puasa kita. Di sinilah kita belajar ihsan, yakni engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, bila tidak mampu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia(Allah) melihat kita.
Perasaan merasa selalu diawasi inilah yang begitu penting untuk dimiliki setiap insan. Karena dengannya lah kita akan tetap teguh berbuat benar meski tidak ada orang yang melihat. Dengannya lah kita tetap jujur dan tidak mencontek saat ujian meski tidak ada petugas yang melihat. Dengannya kita tetap jujur dan tidak korupsi ketika diberikan suatu amanah yang berkaitan dengan dana. Dengannya seorang pedagang tidak mengurangi timbangannya untuk mencari keuntungan secara curang. Semuanya tetap berbuat adil meski tidak ada yang melihat karena tahu sebenarnya Allah senantiasa melihat amal-amal kita.
Selain itu kita juga belajar untuk lebih peka di bulan Ramadhan ini. Dengan langsung merasakan laparnya hari-hari puasa kita harusnya sadar, betapa tidak mudahnya apa yang dirasakan mereka yang kekurangan. Kita berpuasa dari fajar hingga maghrib, lalu setelahnya bisa berbuka dengan makanan yang enak-enak? Namun bagaimana dengan kondisi mereka?
Mereka lapar karena memang tak ada yang bisa dimakan, pun kalau sudah bisa makan hanya makanan seadanya yang bisa mengganjal perutnya. Kita puasa hanya sebulan ini, sedang mereka berpuasa di bulan-bulan lainnya karena memang tak punya sesuatu untuk dimakan. Kita puasa justru menghamburkan banyak uang untuk sekedar berbuka, namun mereka di sana justru tidak terpikirkan. Sungguh puasa kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan penderitaan mereka di bulan-bulan lain.
Maka dari itulah setelah puasa disyariatkan zakat, supaya kita sadar dalam harta kita ada hak mereka yang membutuhkan. Di luar sana ada orang-orang yang masih membutuhkan uluran tangan kita. Harusnya kita mampu disadarkan dengan puasa ini, namun bila sampai akhir tidak sadar itu berarti kita masih kurang peka, kurang mampu menangkap hikmah-hikmah dibalik syariat puasa Ramadhan ini. Di sinilah kita diingatkan untuk lebih peka, membantu dan menyantuni yang kekurangan, bukannya menumpuk harta yang telah Allah berikan.
Begitu banyak pelajaran yang bisa diambil dari Ramadhan. Kita banyak berlatih di bulan ini, maka alangkah ruginya orang yang sudah dilatih namun masih belum mampu berubah. Alangkah ruginya yang tidak mampu mengambil pelajaran dan tidak mampu berubah setelah dididik di bulan Ramadhan. Semoga kita termasuk yang mampu mengambil pelajaran dan berubah lebih baik lagi pada hari-hari setelah Ramadhan. Keep istiqomah!
Wallohua’lam bisshowwab

5/30/2013

Cinta Menuntut Segalanya



Bicara cinta memang tidak ada habisnya. Tak peduli yang muda maupun yang tua semuanya tak pernah bisa lepas dari kata yang satu ini. Ada yang bilang hidup tanpa cinta bagai sayur tanpa garam, hambar. Hidup jadi tak ada artinya dan tak bermakna bila tak ada cinta.
Cinta memang bisa mnjadi energi penggerak yang luar biasa. Seorang pemuda rela bolak balik mengantarkan pasangannya karena cinta. Seorang suami rela keliling menyusuri tiap sudut kota demi mencarikan barang yang diidamkan istrinya saat hamil. Bahkan seekor ayam rela melawan pengganggu anak-anaknya meski harus melawan dengan makhluk yang lebih besar darinya, semua karena “cinta”.
Di sisi lain cinta terkadang akan menuntut segalanya dari diri sang pecinta. Menuntut waktu, tenaga, harta dan masih banyak lagi. Tak jarang ada orang yang mau berjibaku untuk mecari barang yang diinginkan pasangannya. Seorang ibu harus siap siaga untuk mengurus bayinya, hingga kadang bangun di tengah malam saat sang bayi menangis, terkadang harus memandikannya, menyuapinya makan dan masih banyak lagi. Seorang ayah harus bekerja keras sepanjang hari demi mencari nafkah untuk keluarganya, namun semua tetap dilakukan karena kecintaannya.
Cinta terkadang akan memeberikan kekuatan tersendiri bagi para pelakunya. Kekuatan yang luar biasa, yang tidak bisa didapat seorang pada kondisi normalnya. Seorang ibu bisa melakukan banyak pekerjaan sekaligus di keluarganya. Di suatu ketika beliau memasakkan makanan mereka, menyapu ruangan, mencuci pakaian, merawat sang anak , memandikan anaknya, menyapu, dan luar biasanya masih bisa bangun lebih awal untuk membangunkan keluarganya. Semua kekuatan ini lahir karena kecintaannya pada keluarga. Pejuang-pejuang kita dahulu meski dengan segenap keterbatasannya, bermodalkan bambu runcing, masih bisa melawan Belanda bahkan sampai membuat kerugian yang besar bagi pemerintahan Belanda. Semua berawal dari kecintaannya pada bangsa dan rasa rindunya pada kemerdekaan kita.
Setiap orang terkadang memiliki kadar cinta yang berbeda-beda terhadap orang lainnya. Ada yang dicintai dengan sepenuh hati, ada yang sedikit dicintai ada yang dibenci, semua memiliki kadarnya masing-masing. Lalu sebenarnya siapa yang harus kita cintai? Siapakah yang lebih layak untuk dicintai dan siapakah yang perlu lebih dicintai dari yang lainnya?
Sebagai manusia, makhluk yang diciptakan, diberi rezeki dan kemudian hendak dimatikan kembali olehNya, sudah selayaknya Allah lah yang lebih dicintai dari yang lainnya. Betapa tidak, Allah yang telah mengidupkan kita, menghamparkan bumi untuk kita tinggal, menyediakan rezeki kita. Allah pulalah yang menciptakan bagi kita pelindung-pelindung  dan orang yang dengan tulus mencintai, menyayangi dan merawat kita hingga kita mampu berdiri dengan sendirinya.
Secara tegas, Allah telah menjelaskan hal ini dalam firmanNya “Wahai orang-orang yang beriman! Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan RasulNya serta berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusanNya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”(At Taubah 24)
Dalam ayat ini terlihat ancaman yang tegas darinNya bila samapi ada yang lebih kita cintai dari Allah, Rasul dan berjihad di jalanNya. Selain cinta kepadaNya cinta yang diperkenankan menurut agama adalah mencintai karenaNya. Ya, kita mencintai sesuatu karena Allah. Mencintai orangtua karena Allah, mencintai anak karena Allah mencintai sahabat karena Allah, semua karena Allah.
Bila seseorang telah benar-benar mengutamakan kecintaan padaNya di atas segalanya, maka dia akan cinta pula pada apa-apa yang Allah cintai. Menaati setiap perintahNya, menjauhi setiap laranganNya dengan sekuat tenaga. Karena bagaimana mungkin seseorang yang mencintai malah melakukan hal yang dibenci Dzat yang dicintainya?
Kecintaan padaNya inilah yang akan menjadi energi pelejit yang luar biasa untuk melakukan hal-hal besar demi meraih keridhoanNya. Di saat yang lain tertidur pulas, dia memilih bangun demi bermunajat depadaNya. Di saat yang lain kenyang dengan makananNya, dia rela berlaparlapar ria untuk menjalankan puasa. Di saat yang lain sibuk main game, dia memilih membaca buku, mencari ilmu yang bisa menambah kualitas amalnya, menambah kecintaan padaNya dan membuatnya semakin tunduk dan taat padaNya. Semua yang Allah cintai akan dicintaiNya pula. Semua yang Allah benci akan dibencinya pula.
Lebih besar lagi ia akan dengan tulusnya mengikrarkan Innasholati wa nusuki wamah yaaya wamamaati lillahirobbil aalamiin( Sesungguhnya sholatku ibadahku, hidupku dan matiku hanya Allah Robb semsesta alam. Tak hanya ibadah ritual, tapi seluruh kehidupanNya ia kerahkan demi meraih ridhoNya, bahkan sampai matinya pun diperuntukkan bagiNya dan agamaNya. Ia rela mengorbankan hartanya, mengorbankan tenaganya bahkan menjadikan syahid sebagai cita-citanya.
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-oran mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, sehingga mereka membunuh atau terbunuh,  (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan Siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung” (At Taubah 111).
 Seperti itulah seorang mukmin, ia harusnya hidup dan mengisi kehidupannya untuk mencari keridhoanNYa. Ia berjuang sepanjang waktunya, mengorbankan segala-galanya demi mencari keridhoanNya dan menolong agamaNya. Kecintaan inilah yang pada akhirnya melahirkan pribadi-pribadi yang tangguh luar biasa, melebihi manusia-manusia lain pada umumnya.
Masih ingat dengan Sayyidina Abu Bakar r.a. yang rela menshadaqahkan seluruh hartanya di jalan Allah dan meninggalkan bagi keluarganya Allah dan RasulNya. Masih ingat dengan Sayyidina Umar r.a.  yang dengan keberaniannya hijrah secara terang-terangan bahkan menantang kaum Quraisy yang hendak menghalanginya? Masih ingat dengan sayyidina Utsman dengan segala kedermawanannya? Masih ingat dengan Sayyidina Ali yang rela menggantikan Nabi di kamar tidurnya saat kaum Quraisy merencanakan pembunuhan pada Nabi SAW?
Semua orang-orang ini  mampu melakukan hal-hal yang luar biasa dengan penuh keyakinan dan tanpa ketakutan karena benar-benar mencintai Allah, Rasul dan Agama islam ini melebihi dirinya sendiri dan keluarganya. Demikian pulalah yang dimiliki para ulama dan pejuang-pejuang islam di masanya. Kecintaan yang mendalam pada Allah, Rasul dan agamaNya telah mampu menghadirkan kerja-kerja luar biasa yang dengannya terciptalah suatu peradaban yang maju luar biasa.
Kemenangan demi kemenangan terus diraih oleh umat islam pada masa-masa awal setelah zaman Rasulullah dan para sahabat. Terlahir pejuang-pejuang islam yang mampu mengorbankan segalanya demi keluhuran agama dan kemenangan agama ini. Mereka tidak takut mati dalam perang bahkan justru itulah yang dicari. Mereka tidak letih dalam menuntut ilmu, tidak letih dalam menghidupkan ibadah sunnah, tidak takut hartanya habis karena sedekah. Semua itu diilakukan karena kecintaan yang besar pada Allah, Rasul dan agamaNya.
Setiap kita adalah budak dari apa yang dicintainya. Bila cintanya sebatas kepada makhluk maka ia akan diperbudak oleh makhluk, menuruti setiap keinginan sang makhluk. Bila cintanya pada dunia maka ia pun akan menjadi budak dunia. Namun bila cintanya kepada Sang Khaliq maka ia akan menjadi hambaNya yang siap berjuang di jalanNya, mengorbankan segalanya demi meraih keridhoanNya. Dan semua itu tidak akan sia-sia karena Dialah yang akan menanggung kebahagiaan di dunia dan akhiratnya. Wallohua’lam bisshowwab

5/28/2013

Milih Teknik Fisika Serasa Milih Jodoh



Cukup menarik bila mencoba mengingat kembali masa-masa SNMPTN dahulu. Masa-masa ketika belum dapat kuliahan, masa-masa galau milih jurusan, masa-masa tak tentu arah, tak tahu akan kemana nasib membawa kita. Ya, kelas 3 SMA memang menjadi masa-masa yang gamang, penuh rasa wasa-was, penuh ketakutan dan kecemasan. Meski sekedar untuk memilih jurusan.
Bagi orang-orang yang belum ada rencana jauh-jauh hari, memilih jurusan tentu menjadi hal yang tidak mudah. Banyak pertimbangan, banyak perhitungan. Dari mulai melihat minat diri, hingga menyesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki. Salah memilih jurusan bisa fatal akibatnya, itulah yang membuat saya was-was dahulu.
Ketakutan demi ketakutan terus menggelayuti pikiran ini. Takut tidak sesuai kemampuan, takut tidak diterima, takut tidak prospek ke depannya. Ketakutan-ketakutan itu membuat semakin galau dalam menentukan jurusan mana yang akan kita pilih. Hingga terkadang kita perlu merenung dan berulangkali berfikir untuk mengambil keputusan.
Seperti itu pulalah yang saya alami saat memilih jurusan yang sekarang saya tekuni ini. Butuh waktu yang lama untuk memantapkan hati memilih jurusan yang satu ini. Banyak yang dipertimbangkan. Butuh berulangkali perenungan hingga akhirnya memutuskan memilih jurusan teknik fisika dengan prodi Fisika Teknik UGM.
Berawal dari chat dengan kakak kandung saya, saya mulai mengenal jurusan ini. Masih ingat dulu saya minta pendapat kakak saya yang sudah bekerja di Padang mengenai pemilihan jurusan ini. Sejak awal memang sudah ada keinginan untuk memilih di teknik, meski belum tahu pasti akan masuk teknik apa. Mungkin terpengaruh kakak laki-laki juga yang  telah bekerja di bidang engineering.
Mengapa memilih teknik? Banyak alasannya. Yang pertama karena saya anak IPA. Ya memang telah menjadi kebiasaan untuk menghitung dan belajar mapel eksak seperti matematika dan fisika, saya kira teknik inilah yang pada akhirnya bisa benar-benar sesuai dengan apa yang saya pelajari waktu di SMA. Saya tidak ingin ilmu yang sudah susah-susah saya pelajari ini pada akhirnya tidak saya terapkan. Itulah mengapa saya tidak ingin masuk ke ranah lain seperti polisi, TNI, kedokteran, maupun keguruan.
Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mau milih teknik apa? Awalnya sempat kepikiran antara teknik elektro (karena mirip-mirip jurusan kakak saya) atau teknik kimia (karena sama dengan jurusan ipar saya). Namun saya masih bingung, ada juga keinginan di teknik Industri. Saya masih bingung dan tidak bisa membedakan dengan baik masing-masing jurusan.
Untuk itulah saya tanyakan ke kakak saya tadi. Saya langsung bilang, punya kelebihan di mapel fisika. Biasanya nilai saya bagus yang fisikanya. Lalu kakak saya pun langsung menyarankan untuk mencoba teknik fisika. Beliau bilang akhir-akhir ini banyak dicari anak teknik fisika.
Saya yang waktu itu belum tahu kalau ada jurusan yang satu ini langsung searching di google, mencari tahu apa pun mengenai jurusan ini. Tulisan demi tulisan saya baca satu persatu. Mulai dari wikipedia hingga blog sejumlah orang yang ternyata ada banyak diskusi di kirimannya mengenai teknik fisika ini, sejak itulah saya mulai tertarik.
Apa yang membuat saya tertarik? Diantaranya karena jurusan ini sifatnya lebih meluas, bukan mendalam. Disini kita pelajari dasar-dasar dari setiap ilmu keteknikan. Itulah yang menjadikan kita punya banyak pengetahuan dari berbagai jurusan di teknik meski tidak secara mendalam.
Karena meluas maka akan memungkinkan dalam pengembangan teknologi yang lebih maju kedepannya. Kita tidak mati mempelajari suatu bidang keteknikan, tetapi mampu menjembatani semua serta mampu menjadi pengembang teknologi baru di dalamnya. Inilah yang membuat saya tertarik.
Selain itu melihat realitas dunia kerja, kebanyakan perusahaan tidak akan langsung mempekerjakan fresh graduatenya. Mereka akan lebih dahulu mengadakan training bagi setiap pekerja baru. Ini karena tak jarang pekerjaan yang akan mereka lakukan ternyata berlainan dengan ilmu yang selama ini dipelajarinya di bangku perkuliahan. Tak jarang para fresh graduate ini harus belajar lagi dan mulai dari nol sebelum benar-benar siap bekerja di perusahaannya.
Inilah yang menjadi kelebihan anak teknik fisika. Karena kita pelajari berbagai bidang keteknikan secara meluas, kita akan lebih siap untuk bekerja di berbagai kondisi. Ini karena kita telah dibekali oleh dasarnya yang pada akhirnya siap dikembangkan untuk berbagai bidang yang dibutuhkan di dunia kerja nantinya. Kita cenderung lebih mampu untuk beradaptasi di berbagai kondisi dan tuntutan pekerjaan nantinya.
Selain itu, jurusan ini juga tergolong masih langka. Tercatat baru ada lima Perguruan Tinggi yang memiliki jurusan ini. Tiga Jurusan dari Perguruan Tinggi Negeri, yakni ITB, UGM dan ITS. Sedangkan dua lainnya dari Perguruan Tinggi Swasta, IT Telkom dan UNAS.
Dahulu ketika ditanya orang lain, baik guru maupun teman-teman lain “Hendak melanjutkan ke mana?” saya jawab Teknik Fisika UGM. Padahal waktu itu masih belum yakin juga akan memilih jurusan ini atau tidak, masih galau sebenrnya. Namun saya mencoba menutupi, dan  mencoba untuk terlihat yakin dan punya gambaran ke depan. Mungkin karena keseringan mengatakan demikian pada akhirnya saya benar-benar memilih Teknik Fisika UGM di jalur undangan
Awalnya ingin milih di FTI ITB. Saya tertarik dengan Teknik Fisika disana. Sepertinya Teknik Fisika di ITB memang jauh lebih baik dari yang di UGM. Namun karena melihat teman-teeman lain banyak yang memilih ITB di jalur undangan, dan saya kira akan saingan sendiri maka saya memilih mundur dan menetapkan memilih Teknik Fisika UGM (maklum SMA saya tidak terlalu favorit bila dibandingkan SMA lain se-Indonesia, tidak banyak yang bisa lolos jalur undangan). Hal yang menjadi pertimbangan lainnya adalah karena dari tulisan-tulisan yang saya baca di beberapa blog Teknik Fisika UGM juga tidak kalah baiknya terutama dalam bidang energinya.
Apakah cukup demikian? Ternyata tidak, ternyata ketakutan demi keteakutan masih menggelayuti pikiran ini. Takut ternyata tidak prospek. Takut karena kalah saing karena lulusannya yang masih sedikit. Takut tidak sebaik yang dibanyangkan. Dan yang paling besar takut tidak diterima!!
Masih teringat jelas malam hari tepat sebelum pengisian pilihan SNMPTN Undangan. Malam itu malam Jumat Pon, kebetulan saya sedang ngaji di masjid dekat Alun-alun Blora, Masjid Baitunnur. Ketika itu saya memantapkan hati untuk meilih protdi Fisika Teknik sebagai pilihan pertama untuk SNMPTN undangan. Saat itu saya kirim sms ke teman-teman saya, meminta doa dan dukungan mereka.
Masih teringat saat itu saya sampai menangis karena bercampurnya perasaan di hati. Antara takut, harap, cemas, dan waswas, semua ini terbalut dalam ketawakkalan yang membuat saya mantap  untuk menanggung segala resiko atas pilihan yang saya buat. Saya yakin Alloh tidak akan menguji seseorang melebihi kemampuannya.
Setelah memlih Fisika Teknik pada SNMPTN Undangan banyak hal yang saya lakukan. Mulai dari mengikuti try out TOENAS di Semarang yang ternyata hasilnya benar-benar tidak memuaskan. Lalu mendaftar ASTRA hingga sampai ke tahap wawancara namun gagal lolos ke tahap selanjutnya. Mendaftar AMG, namun gagal semenjak tes pertama. Mencoba ikut seleksi bimbingan gratis namun gagal saat tes tulis.
Semua kegagalan di atas sempat membuat saya kecil hati, ternyata kemampuan saya masih jauh dari kata cukup untuk bisa lolos di SNMPTN tulis nanti. Saya pun memutuskan ikut bimbel. Sebenarnya tidak ingin ikut bimbel, ketika itu bersama teman saya Readilkha saya melobi guru saya untuk memberikan tambahan dan bimbingan SNMPTN bagi teman-teman yang belum ikut bimbel.
Namun karena terikat dengan prosedur, hal demikian tidak bisa dilakukan mendadak. Mungkin bisa diprogramkan untuk tahun berikutnya namun tidak bisa untuk tahun tersebut. Sebelumnya dahulu juga para guru sempat mengadakan bimbingan untuk siswa dalam menghadapi SNMPTN tulis, namun ternyata siswanya sedikit, kebanyakan lebih percaya pada lembaga swasta ketimbang para guru yang sebenarnya lebih berpengalaman.
Namun Bu Pur yang saat itu kami mintai tolong tak berhenti demikian saja. Beliau memberi alternatif lain untuk mengikutkan saya dan teman-teman lain ke salah satu lembaga bimbingan belajar yang telah menjadi rekanan beliau. Hingga dilobilah lembaga tadi, sampai akhirnya kami bisa ikut bimbingan dengan biaya yang lebih murah. Senang sekali meski tak jadi gratis tetapi bisa memfasilitasi teman-teman lain untuk ikut bimbel bersama dengan harga yang lebih murah.
Saya pun melalui hari demi hari belajar di bimbel tadi. Dari tes pertama, terlihat nilai saya memang sedikit lebih baik dari teman-teman lainnya. Namun saya rasa masih sangat jauh untuk mencapai target di prodi yang saya pilih. Saya pun kembali merasa waswas dan khawatir tidak lolos bila nanti harus mengikuti SNMPTN tulis.
Hari demi hari, saya lalui dengan terus berdoa. Masih teringat doa saya dahulu yang cukup singkat namun jelas. “Ya Alloh, saya ingin masuk Fisika Teknik UGM, berilah pertolonganMu, segalanya mudah bagiMu”. Demikian doa ini terus saya baca di setiap usai sholat, saya terinspirasi dengan ustadz Yusuf Mansur yang mengajarkan untuk konsisten berdoa, meminta sesuatu yang kita hajatkan secara terus menerus di setiap selesai sholat, baik yang fardhu maupun sunnah.
Akhirnya tibalah hari pengumuman. Saat itu pengumuman SNMPTN undangan dimajukan dan bertepatan dengan pengumuman UN. Saat itu saya bersama teman-teman lain berkumpul di Sekolah untuk bersama menanti hasilnya. Hingga ketika tiba waktunya, saya melihat hasil SNMPTN dari HP teman saya.
Alhamdulillah, diterima! Terkejut saat tahu ternyata saya lolos dan diterima di Fisika Teknik UGM. Mimpi jadi nyata! Tak terbayang, bisa diterima di Universitas terbesar di Indonesia ini. Semua rasa cemas yang semula memenuhi ruang hati perlahan mulai hilang, berganti rasa takjub dan lega luar biasa.
Beruntung! Pikir saya. Saya yang nilai UN nya tak terbaik ini, tak masuk ranking lima besar kelas, bukan anak Olimpiade namun ternyata bisa masuk UGM. Tak terbayang bila tidak lolos jalur Undangan ini mungkin akan lebih susah untuk bisa lolos PTN. Namun Alloh ternyata memberi jalan lain yang lebih mudah dan benar-benar mengabulkan apa yang selama ini saya minta. Maha besar Alloh, Segalanya mudah bila Ia telah berkehendak..
 Memilih Teknik Fisika memang serasa milih jodoh (meski saya sendiri belum pernah milih jodoh :D). Penuh pertimbangan dan penuh kecemasan di dalamnya. Pada akhirnya saya akan mencoba melakukan yang terbaik di sini. Baik buruknya di jurusan ini harus saya terima dan saya cintai karena inilah yang telah menjadi pilihan saya. Semoga dari jurusan ini, perlahan tapi pasti cita-cita saya bisa menjadi kenyataan. Aamiin ^^