10/06/2013

Antara Cemas dan Harap



Diutusnya para rasul selalu memilki dua peran penting yang tidak bisa dipisahkan, yakni sebagai pemberi peringatan serta pembawa kabar kembira. Pemberi peringatan kepada orang-orang yang ingkar dengan kabar datangnya adzab yang pedih, serta pemberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman akan datangnya kenikmatan surga yang tak terbayangkan besarnya. Kedua masalah ini selalu disandingkan. Seakan-akan menandakan pentingnya menghadirkan rasa cemas (takut siksa neraka) dan harap (mengharapkan surga).

Kehadiran rasa cemas dan harap itu mutlak diperlukan bagi yang menghendaki adanya perbaikan. Dengan rasa cemas seseorang akan sadar sekecil apa pun kesalahan tidak layak untuk disepelekan, sadar masih banyak yang perlu diperbaiki, masih banyak ‘PR’ yang harus dikerjakan, tidak mungkin akan duduk diam ketika masalah-demi masalah itu belum menemukan peyelesaiannya. Ketika melihat kondisi bangsa, tentunya kita akan dihadapkan pada berbagai permasalahan yang cukup membuat kita cemas. Mulai dari masalah korupsi yang semakin menjadi-jadi, kenakalan remaja, krisis kejujuruan, pergaulan bebas, kriminalitas, hilangnya integritas, hilangnya kepedulian akan permasalahan bangsa, dan masih banyak lagi. Belum lagi masalah ekonomi, pendidikan  serta politik yang semakin carut marut dan perlu segera diadakan perbaikan.

Masalah-masalah ini tentunya membuat kita cemas, dan yang lebih penting lagi membuat kita sadar bahwa perjuangan untuk  memperbaiki bangsa ini masih cukup panjang, masih banyak permasalahan yang perlu dipecahkan, masih banyak ‘PR’ yang menanti untuk segera dituntaskan. Tidak sepantasnya kita duduk diam dan tidur tenang ketika masih banyak permasalahan yang belum ditemukan solusinya. Masalah satu belum selesai muncul lagi masalah lainnya, setiap hari kita selalu disuguhkan dengan berita-berita yang menambah kecemasan kita akan kondisi bangsa.

Namun terlalu cemas dan takut pun tidak selamanya benar. Terkadang berlebihannya ketakutan dan kecemasan justru mampu memadamkan api semangat dan membuat kita pesimis akan adanya perbaikan. Gejala-gejala ini mulai dapat kita rasakan. Banyak masyarakat di luar sana yang sudah sangat pesimis, putus asa dan beranggapan perbaikan bangsa sudah tidak mungkin lagi. Di antara mereka ada yang berkata “kasus korupsi sudah tidak mungkin dituntaskan lagi”, menganggap gagasan indonesia bersih dari korupsi hanya sebuah utopia, omong kosong belaka. 

Sikap seperti inilah yang tidak kita inginkan, karena ketika seseorang telah kehilangan harapannya maka akan semakin sulit diharapkan hadirnya perubahan, akan semakin sulit diharapkan hadirnya suatu perbaikan. Bila setelah lelah berjuang saja belum tentu menuai keberhasilan bagaimana hendak kita harapkan keberhasilan dari mereka yang menyerah, mundur sebelum berperang? Sikap apatis seperti inilah yang akan membahayakan bangsa, menjerumuskan kita menuju keterpurukan yang semakin dalam. 

Untuk itu, disamping rasa cemas, rasa harap juga perlu kita pupuk. Dengan rasa harap inilah kita berani bermimpi setinggi-tingginya. Dengannya kita bisa punya daya juang tinggi, tetap yakin di saat yang lain ragu. Tetap optimis dan tak mudah menyerah meski banyak permasalahan yang menghadang. Perasaan inilah yang membuat kita tetap tenang dan terus bergerak melakukan perbaikan di saat yang lain menambah kerusakan.

Memang banyak permasalahan yang dapat membuat kita cemas, namun hal-hal yang mampu membangkitkan harapan pun tak kalah banyaknya. Indonesia negara yang besar, kita negara dengan wilayah yang luas, penduduk yang tak sedikit serta dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah. Setidaknya hal ini modal yang cukup bagi kita untuk bangkit memperbaiki kondisi negeri. Tak hanya sumber daya alam, sebenarnya dari segi SDM pun kita tidak tertinggal dari lainya. Kita pernah punya B.J. Habibie yang kepandaiannya pun diakui dunia internasional, dan kini kita punya banyak pemuda dengan berbagai prestasi yang membanggakan nusantara.

Gerakan-gerakan perbaikan pun mulai terlihat tumbuh dari masyarakat sendiri. Bermunculannya trainer/motivator dengan pelatihan-pelatihannya sedikit-demi sedikit memperbaiki pola pikir masyarakat. Yang semula takut berwirausaha, sekarang bermunculan entrepreuner-entrepreuner muda dengan usaha kreatifnya yang semakin menguatkan perekonomian bangsa. Perbaikan dari segi moral dan agama pun semakin terasa dampaknya.

Bermunculannya lembaga dakwah sekolah maupun kuliah semakin menunjang syiar-syiar islam dan turut berperan dalam advokasi yang terkait dengan kepentingan umat islam. Kehadiran rumah-rumah tahfidz juga telah membangkitkan kembali semangat menghafal quran dan telah mencetak hafidzh-hafidzoh yang tidak sedikit jumlahnya. Ini tentu suatu kemajuan yang patut kita apresiasi.

Munculnya gerakan-gerakan dari masyarakat turut membawa perbaikan bagi wajah negeri. Indonesia mengajar, Indonesia menghafal, Indonesia berjamaah, dan masih banyak lagi gerakan-gerakan dari akar rumput yang berperan aktif bagi perbaikan dan kemajuan bangsa. Munculnya penulis –penulis yang mengangkat tema-tema motivasi-religi juga telah mampu mewarnai wajah negeri dengan hal-hal yang lebih baik dan bermanfaat.

Ya, pada kenyataannya akan ada dua kubu yang senantiasa bersaing, kubu yang memperjuangkan kebenaran dan kubu yang memperjuangkan kebathilan, ada yang menebar perbaikan ada yang merusak. Besarnya kerusakan yang terlihat bukan berarti gerakan perbaikan telah mati, keduanya bagaikan dunia paralel yang bergerak masing-masing, terus bergerak maju dengan pencapaian masing-masing.

Harapan itu masih ada dan akan selalu ada. Jangan terlena ketika melihat kemajuan yang ada, karena masih banyak permasalahan yang perlu kita carikan solusinya. Namun jangan sampai putus asa ketika melihat kerusakan yang semakin menjadi-jadi, tetap berharap, tetap bermunajat, tetap berjuang di jalan kebenaran ini. Sudah menjadi janjiNya kebenaran ini akan dimenangkan, sudah menjadi ketentuanNya kebathilan akan terkalahkan, pertanyaannya ada di barisan manakah kita saat ini? Sejauh apakah kontribusi yang bisa kita berikan? Wallohua’lam bisshowwab