Pemilu Presiden kemarin
cukup istimewa karena dilaksanakan tepat di bulan Ramadhan, disaat umat islam
di seluruh dunia menunaikan salah satu rukun islamnya. Bulan Ramadhan adalah
sebaik-baik bulan, bulan penuh kemuliaan, rahmat, ampunan, bulan diturunkannya
Al Qur’an, bulan yang teramat istimewa di kalangan umat islam. Kajian-kajian,
diskusi keagamaan, lomba-lomba keislaman, bakti sosial, kelompok tilawah,
tayangan religi, hingga lagu-lagu religi tiba-tiba bermunculan di bulan ini.
Semuanya berlomba-lomba untuk beramal dan memperbaiki diri. Inilah bulannya
umat Islam.
Tentunya tidak ada
salahnya pula bila kita mengharapkan adanya perubahan pada bangsa ini untuk
menjadi lebih baik, menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa robbun
ghafur. Perubahan adalah suatu keniscayaan. Yang menjadi pertanyaan adalah
perubahan seperti apakah yang kita harapkan? Apakah semakin mendekati keridhoan-Nya atau
justru sebaliknya?
Indonesia adalah negara
yang besar, yang telah Allah lebihkan dari negara lain dengan berbagai
kenikmatan. Kekayaan alam yang melimpah, budaya, wilayah yang luas, mencakup
daratan dan lautan, flora, fauna, iklim yang stabil, jumlah penduduk yang
besar, dan masih banyak lainnya. Sebagai negeri dengan penduduk muslim
mayoritas tentu kita mengharapkan Indonesia bisa menjadi negeri yang madani.
Negeri yang pemimpinnya adil dan rakyat yang dipimpinnya hidup damai sejahtera.
Kita menginginkan terwujudnya
maqashidus syariah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni untuk
menjaga agama, jiwa, harta, nasab, dan akal manusia. Menjaga agama artinya
tidak ada paksaan dalam memeluk agama, kebebasan beragama dilindungi, namun
bukan berarti membebaskan sebebas-bebasnya karena kita punya Pancasila dengan
sila Ketuhanannya, setiap warga negara harus memilih agamanya masing-masing.
Menghormati perbedaan
keyakinan bukan berarti mencampuradukkan (sinkretis). Tentu tidak benar
bila diadakan acara-acara peribadatan bersama antar agama seperti ritual doa
bersama, natal bersama, dan lain sebagainya. Karena perkara ibadah tidak bisa
dicampur adukkan “Lakum diinukum waliyadiin”(untukmu agamamu dan untukku
agamaku). Maka menjaga agama berarti menghormati pendirian tiap agama untuk
tidak berserikat dalam perkara peribadatan namun tetap ber-muamalah dalam
perkara-perkara dunia, seperti dalam perdagangan, pekerjaan, tata negara,
pendidikan, dan lain sebagainya. Hendaknya negara tidak memaksakan seorang
muslim untuk bersama-sama merayakan peringatan hari-hari besar keagamaan lain
karena yang seperti ini bisa meruntuhkan aqidah yang sudah kita bangun
baik-baik.
Menjaga harta, artinya
agar setiap harta sampai kepada yang berhak, tidak ada segala bentuk manipulasi,
pencurian, korupsi, dan cara-cara lain untuk memperoleh harta dengan jalan yang
tidak dibenarkan. Ini juga menjadi tantangan pemerintah kini karena Indonesia
pada kenyataannya belum bisa melepaskan diri dari jerat-jerat korupsi, baik
dari lini eksekutif, legislatif maupun yudikatif, masih saja ditemui beberapa
oknum yang terlibat korupsi.
La Ode Ida, Wakil Ketua
DPD RI, menyatakan, praktik korupsi selama rezim pemerintahan SBY dinilai jauh
lebih parah dibandingkan korupsi sebelum era reformasi tahun 1998. Korupsi saat
ini terjadi di semua lini dan level, baik di eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif1. La Ode Ida mengatakan, korupsi saat ini jauh lebih parah
karena pejabat dan politikus justru merawat dan saling menjaga tindakan
koruptif sesama mereka, mirip apa yang dilakukan mafia.
Parahnya, bukannya
diberikan hukuman yang menimbulkan efek jera, pemerintahan SBY justru kerap
memberi obral remisi bagi para koruptor yang sudah dipidana. Kalau di Arab,
koruptor dipotong tangannya. Di China, koruptor dipotong lehernya. Di
Indonesia? Koruptor dipotong masa tahanannya! Inilah tantangan cukup besar bagi
kepemimpinan nasional yang akan datang. Mampukah pemerintah berlaku tegas?
Menjaga
akal artinya memastikan agar akal setiap manusia tidak terganggu sehingga ia
bisa berfikir secara jernih. Diantara yang dapat merusak akal manusia adalah khamr,
minuman yang memabukkan. Pemerintah harusnya bisa tegas mencegah setiap
peredaran minuman keras, bukan malah melindunginya. Karena selain jelas
keharamannya ia juga merusak akal manusia, pun juga dengan peredaran berbagai
obat-obatan terlarang/ narkotika. Ini menjadi tantangan besar bagi kepemimpinan
mendatang untuk menumpas tuntas peredaran narkotika di Indonesia.
Menjaga
jiwa artinya melindunginya dari segala bentuk tindak kriminal, dari mulai
kekerasan fisik, hingga tindak pembunuhan. Bila dalam syariat islam kita mengenal
istilah qisash, mata dibalas dengan mata, tangan dibalas dengan tangan,
nyawa dibalas dengan nyawa. Tentunya penerapan hukum qisash sudah
menjadi keadilan-Nya karena dengan inilah kita bisa menjaga nyawa seseorang.
Dalam qisash ada kehidupan.
Kita
lihat selama ini masalah ini juga menjadi masalah yang cukup pelik di
Indonesia. Mulai dari kekerasan pada wanita dan anak-anak, kekerasan dalam
rumah tangga, hingga tindak pembunuhan yang semakin sering terjadi, kita masih
perlu berupaya keras untuk memperjuangkan terlindunginya jiwa setiap warga
negara Indonesia. Tentunya butuh kerjasama dari berbagai elemen masyarakat
untuk mewujudkannya.
Menjaga
nasab artinya menghindari terjadinya segala perbuatan zina yang akan
mengarahkan terputusnya nasab sang anak dari orang tuanya. Ini juga menjadi
salah satu PR bagi kepemimpinan nasional yang akan datang. Naas melihat
banyaknya perzinaan yang terjadi di masyarakat, mulai dari remaja, dewasa
hingga tua. Apalagi melihat generasi muda yang semakin kebablasan dan terjebak
dalam pergaulan bebas. Data KPAI tahun 2008 menunjukkan 62% siswi SMP di
Jakarta sudah kehilangan kegadisannya. Data lain menunjukkan kalau di kota-kota
besar lainnya, mulai dari Bandung, Yogyakarta, sampai Surabaya, sekitar 30-50%
remaja putri sudah pernah berzina, na’udzubillah.
Pemerintah
seharusnya mendukung berbagai upaya untuk meminimalisir terjadinya tindak
asusila ini, seperti yang telah dilakukan Ibu Risma dalam upayanya menutup gang
dolly. Seharusnya ini menjadi inspirasi untuk menutup lebih banyak lokalisasi
di Indonesia. Tentu kita perlu mendata dan melakukan pendidikan ketrampilan
kerja bagi para PSK yang sebelumnya hanya menggantungkan hidupnya dari
lokalisasi. Membiarkan lokalisasi berarti menyetujui tindakan perzinaan terus
menerus berlangsung. Yang seperti ini tentu tidak bisa kita benarkan dan tidak
bisa kita biarkan berlarut-larut. Semoga Allah jadikan negeri ini negeri yang
madani. Aamiin. Wallohua’lam
No comments:
Post a Comment