Bismillahirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaikum readers! Lama tak menyapa melalui kata.
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepatnya. Padahal rasanya baru kemarin masuk
kampus biru tercinta. Rasanya baru kemarin ikut PPSMB dan dipanggil maba. Namun
tak terasa ternyata waktu berputar begitu cepat hingga aku tiba di penghujung
semester VI yang berarti sudah waktunya menjalani mata kuliah wajib 3 SKS yang
biasa disebut dengan KKN (eits, bukan Korupsi, Kolusi, Nepotisme ya!) .
Lebih lengkapnya disebut dengan KKN-PPM, yakni Kuliah Kerja
Nyata Pembelajaran Pengabdian Masyarakat Universitas Gadjah Mada. Ini adalah
program wajib bagi setiap mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Program yang
dirintis oleh Prof. Koesnadi ini sudah menjadi percontohan dan diterapkan di
banyak universitas lain. Sebagai bukti dari trilogi fungsi perguruan tinggi
yakni, pendidikan, penelitian serta pengabdian masyarakat.
Kampus tidak seharusnya memberikan jarak kepada masyarakat.
Pendidikan yang dibiayai oleh uang rakyat seharusnya dapat memberikan buahnya
kembali kepada masyarakat. Melalui program ini mahasiswa dituntut untuk
mandiri, tampil percaya diri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan
masyarakat, turut serta memecahkan permasalahan di setiap daerah yang
ditempatinya. Bila dijalankan dengan baik tentu program ini akan mampu menjadi
perintis pembangunan daerah tertinggal.
Berawal dari KKN banyak sekali permasalahan di daerah-daerah
yang kemudian bisa mulai dipecahkan. Sesuai kepanjangannya, dari program ini
setidaknya didapatkan manfaat baik bagi mahasiswa maupun daerah ditempatkannya
tim KKN. Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat, dengan program ini mahasiswa
mampu belajar untuk bekerjasama dalam tim, menyusun rencana kegiatan, problem
solving, public speaking, tentunya akan melengkapi mahasiswa dengan soft skill
yang tidak didapatkan di kelas-kelas perkuliahan.
Dengannya mahasiswa juga bisa mengenali permasalahan yang
ada di daerah-daerah sehingga kelak bila menjadi pemimpin akan memiliki
kepekaan dan kepedulian pada pembangunan daerah tertinggal. Cukup, mungkin ini
saja penjelasan mengenai program KKN PPM ada banyak hal lebih menarik yang akan
saya ceritakan kali ini.
Karena waktu itu masih disibukkan dengan persiapan muktamar
KMT saya tergolong kurang merencanakan jauh-jauh hari terkait KKN PPM. Rencana
awal ingin mengikuti plotting dari LPPM, tidak tergabung dengan tim pengusul,
namun takdir berkata lain. Karena saat saya lihat di data LPPM ternyata ada
tempat KKN di Blora, kampung halaman saya sendiri, dan saat itu belum ada yang
mengambil saya jadi tergerak untuk mengambilnya padahal waktu itu pendaftaran
sudah sangat mepet. Alasan lain karena temanya yang sesuai dengan bidang yang
saya ambil yakni tentang Optimasi PLTS.
Gambar 1. PLTS di dusun Nglebak.
Setelah memutuskan hendak mengambil ternyata keesokan
harinya sudah ada mahasiswa lain yang mengambil, menjadi kormanit, yakni Alfian
Nahar (ELINS 2012). Alfian menawarkan di grup KKN terkait pendaftaran menjadi
tim pengusul di unitnya. Tanpa pikir panjang saya pun langsung mendaftar dengan
menjelaskan keunggulan saya, yakni sebagai putra daerah dan jurusan yang saya
ambil sesuai tema.
Setelah itu bergabunglah saya sebagai tim pengusul, waktu
itu masih sedikit sekali, belum ada sepuluh anggota yang bergabung saat kumpul
pertama.
Saat survei pertama bersama tim pengusul dengan mengendarai
mobil Ganda (Teknik Elektro 2012). Kita memutar dari Blora, Cepu, Bojonegoro,
Ngawi hingga ke lokasi. Karena lokasi kami merupakan daerah perbatasan
Blora-Ngawi. Perjalanan dari Blora kota ke lokasi hampir 3 jam, tidak seperti
yang saya kira.
Mendekati lokasi kami melihat sendiri bagaimana jalan menuju
lokasi rusak parah, sangat sulit dilalui mobil, sampai-sampai kami heran
mengetahui ada peradaban manusia di dalamnya. Sedangkan jalan yang langsung ke
arah Blora lebih jelek lagi, dan dipisahkan oleh hutan jati yang sangat luas.
Saya sampai terheran mengapa daerah ini bisa masuk Kabupaten Blora.
Saya juga dikagetkan karena di dekat lokasi ada tugu segi
empat besar yang berisikan lambang “Persaudaraan Setia Hati Terate”, organisasi
beladiri yang kebetulan waktu itu juga saya ikuti. Ketika di desa lokasi pun
berkali kali saya menemukan lambang serupa baik yang yang dibentuk tugu maupun
sebatas gambar hati bersinar di dinding rumah.
Setelah saya tanyakan ternyata memang mayoritas sudah
bergabung menjadi warga Persaudaraan Setia Hati Terate. Saya pun takjub,
bagaimana mungkin di tempat terpencil seperti ini organisasi ini bisa berkembang
begitu pesatnya hingga diterima warga sedesa.
Seiring berjalannya waktu unit kami terus mengumpulkan
anggota serta mengumpulkan dana tambahan. Saya ditunjuk menjadi koordinator
danus, karena sebelumnya berkali-kali pernah ngedanus di event fakultas atau
jurusan. Singkat waktu sampai mendekati akhir, anggota unit kita berjumlah 20 anak,
tepat sesuai batas minimum dan saya dipilih menjadi kormasit, untuk sub unit
Kudu.
Kudu sebenarnya bukan dusun, masuk bagian dusun Plumbon,
yakni RT 3 di Plumbon. Namun lokasinya lebih terpencil lagi, terpisah jauh oleh
hutan jati dan akses jalannya pun lebih parah dari yang lainnya namun
berbatasan langsung dengan Sungai Bengawan Solo. Berdasarkan cerita dari Pak
Carik daerah ini tertinggal dalam agamanya, juga pendidikan, dan katanya belum
ada listrik dan MCK.
Dalam hal ini Pak Carik bertindak sebagai PJ Kepala Desa,
karena Kepala Desa sebelumnya telah berakhir masa jabatannya dan belum diadakan
pemilihan Kepala Desa karena menunggu Pemilukada serentak yang akan diadakan
bulan Desember.
Saat penerjunan ke lokasi kita kembali dikejutkan karena
ternyata di rumah Pak Carik terdapat beberapa
mahasiswa berjas biru muda yang
ternyata adalah rekan-rekan dari Tim KKN UNS. Ternyata di sana kita tidak
sendirian, ada anak-anak UNS yang menempati lokasi yang sama. Bedanya kita dari
UGM dibagi dalam tiga subunit kecil yang nantinya dibagi di tiga dusun,
sedangkan dari UNS hanya berjumlah 9 orang untuk wilayah kerja satu desa
Nglebak.
Takdir-Nya memang luar biasa saya. Dipertemukan dengan
orang-orang shalih dari UNS. Ada mas taufik yang ketua SKI FKIP, Fakultas
terbesar di UNS dan mas Aziz pengurus pusat AAI UNS. Kebetulan saya dulu juga
pernah aktif di Lembaga Dakwah tingkat fakultas, jadi langsung mudah akrab
dengan mereka. Dan yang mengejutkan lagi ternyata koordinator mereka, Radikal,
ini juga seorang warga Persaudaraan Setia Hati Terate pengesahan Pacitan.
Saya yang yang berasal dari Blora bisa KKN di Blora, dengan
tema yang sesuai dengan bidang saya di Teknik Fisika,dan kebetulan PLTS disini
mendapat predikat sebagai PLTS percontohan Nasional. Sebagai siswa SH Terate waktu
itu ternyata lokasi saya merupakan perkampungan yang sangat menerima organisasi
ini, dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka karena beberapa kali saya
lihat ada lambang organisasi ini di rumah-rumah, dan beberapa kali saya temukan
warga yang memakai baju/atribut organisasi ini. Sebagai seorang yang pernah
terlibat dalam dakwah kampus di sini saya bertemu dengan anak UNS yang ternyata
pentolan dakwah kampusnya masing-masing, dan bertemu pula dengan warga SH
Terate dari UNS. Kebetulan macam apa ini?
Saya pribadi menganggap ini bukanlah kebetulan, melainkan
sudah menjadi kehendak-Nya agar saya banyak-banyak belajar disini. Saya pun memulai perjalanan KKN ini dengan ditemani Mas Nur,
Azri, Ifah, Bestari, Laily dan mbak Begum yang tergabung dalam sub unit Plumbon
dan rekan-rekan lain dalam satu unit Nglebak. Rencana awal untuk bertempat di
Kudu kita batalkan karena ternyata belum ada MCK disana, warga di sana terbiasa
membuang hajat di sungai Bengawan Solo. Sama sekali tidak ada MCK dan tidak ada
mushola/tempat ibadah. Akhirnya kami memutuskan untuk tetap tinggal di rumah
Pak Carik namun tetap menjalankan beberapa program di Kudu.
Kondisi masyarakat di Nglebak
Beberapa hari tinggal di tempat Pak Carik saya cukup kagum
dengan masyarakat disini yang ternyata begitu islami. Semua sekolah disini
bahkan sampai tingkat SD mewajibkan siswa putrinya mengenakan jilbab. Beberapa
warga saya lihat kerap memakai peci, meski bukan di saat-saat ibadah. Ketika
survei ke rumah-rumah pun berkali-kali saya menemukan rumah yang sedang
menyetel lagu-lagu islami. Islami tapi Jawa, ada yang seperti lagu dangdut tapi
yang dinyanyikan seperti sholawatan. Mungkin ini representasi riil dari Islam
Nusantara yang akhir-akhir ini sering kita dengar. Sejuk sekali rasanya, di
dinding-dinding sekolah juga terdapat pesan motivasi yang ternyata bila
ditelisik lagi berasal dari Qur’an. Pak Kamituwo sendiri tidak pernah absen
sholat berjamaah di masjid, dan selalu mengenakan pecinya kemana pun ia pergi.
Selidik punya selidik ternyata memang ada sejarahnya. Dulu
tidak seperti ini, bahkan dulu seringkali ditemui adanya praktek pembuatan
sesajen untuk menghormati tempat tertentu, juga sering ditanggap gambyongan
ketika selesai panen raya. Saya awalnya tidak paham mengapa gambyongan
dikonotasikan negatif, entah mungkin karena ada goyangan erotis yang
ditampilkan dalam kesenian ini.
Perubahan dimulai semenjak kedatangan Pak Gandhi seorang
tokoh guru agama di sana. Tokoh-tokoh yang pertama kali muncul menolak
kebiasaan buruk ini adalah Pak Sujata, Kamituwa sekarang, Pak Gandhi serta
beberapa tokoh lainnya. Sempat beliau (Pak Kamituwa) bercerita bagaimana dulu
dirinya ketika muda, sangat getol menentang praktik gambyongan, karena sudah
menghabiskan banyak dana, digunakan untuk hal yang negatif, kalau mau
gambyongan ya silahkan yang mau saja yang menyumbang. Saat itu ketika akan
mengadakan gambyongan semua warga desa dimintai sumbangan, baik yang senang
maupun menolak seperti Pak Kamituwa ini.
Bahkan beliau sempat geger besar karena beberapa orang yang
membencinya melaporkannya ke pihak Lurah. Seharusnya waktu itu menjadi
permasalahan dusun, bukan di Kelurahan, tapi beliau bersama 5-7 orang
teman-temannya dari kalangan masjid tetap tegar berdiri menolak kebiasaan lama
yang dirasa banyak mudharatnya ini.
Setelah masuknya Pak Gandhi, masyarakat mulai perlahan-lahan
belajar agama, dan akhirnya mau menerima cahaya Islam, bertaubat sepenuhnya dan
berhenti dari praktik-praktik jahiliyah seperti sesaji dan gambyongan. Inilah
mengapa di kalangan tua seringkali saya temukan orang-orang yang memakai peci.
Mereka adalah orang-orang pertama yang kembali pada agama, sehingga memiliki
jatidiri islami yang kuat.
Pendekatan yang dilakukan Pak Gandhi dan kawan-kawan bukan
dengan kekerasan, namun secara perlahan-lahan dengan menghilangkan sedikit demi
sedikit praktik adat yang menyalahi agama sehingga bisa diterima dengan baik
oleh seluruh warga. Namun tetap saja, seperti kata Pak Kamituwo setiap yang
menyuarakan kebaikan pasti memiliki musuh, bahkan para Nabi pun memiliki musuh.
Dari kalangan "putihan" ini mendapatkan perlawanan dari beberapa
orang terutama di Kudu, tempat yang awalnya menjadi tempat tujuan KKN sub unit
kami.
Di Kudu dulu terdapat tokoh yang kental dengan praktik
perdukunannya, dan juga karena kaya raya ia menjadi rujukan warga di sana.
Karenanya lah sampai sekarang Kudu masih tertinggal dalam masalah agama. Namun
kini tokoh tersebut telah meninggal dan perlahan-lahan mulai ada yang menerima
agama, dan mendirikan sholat. Namun tetap saja tertinggal, sudah lama ingin
didirikan masjid tapi tidak juga terlaksana. Sudah dipasrahi uang 9 juta untuk
membangun masjid malah dipinjam-pinjam untuk kepentingan pribadi, untuk ngurug
jalan katanya. Hingga hanya tersisa 6 juta.
Masalah dengan pihak Kecamatan
Pada saat penerjunan unit kami juga menemui permasalahan
dengan pihak Kecamatan. Dimana yang seharusnya ada penyambutan di Kecamatan,
ternyata tidak ada penyambutan. Besoknya kita mencoba menghubungi pihak
Kecamatan dan menyampaikan permohonan maaf kami, namun kami hanya bisa bertemu
dengan Sekretaris Camat. Yang paling kasihan adalah ketika mbak Begum yang
mewakili tim UGM dalam lomba tujuh belasan di Kecamatan justru diacuhkan pihak
Kecamatan, tidak seperti rekan-rekan UNS, kecuali Ibu Camat yang berani membuka
pembicaraan. Dan ketika tahu beliau anak seorang pejabat di Kabupaten baru
orang-orang menyapanya. Beginilah potret pemerintahan di Indonesia, ketika
bertemu dengan seorang yang berjabatan lebih tinggi langsung tidak berani
macam-macam.
Permasalahan PLTS di Nglebak
Meski sudah mendapat predikat PLTS Terbaik dari pemerintah,
ternyata pada pelaksanaannya masih saja terdapat banyak permasalahan.
Sebelumnya saya jelaskan bahwa di Nglebak ada PLTS yang dibangun di dusun
Nglebak, dan ada Solar Home System yang dipasang di Kudu. Namun pada kenyataannya
yang dipasang di Kudu kebanyakan sudah tidak beroperasi karena aki yang tidak
berfungsi. Dan selama ini PLTS yang terpasang pun hanya cukup untuk menyalakan
1-2 lampu saja.
Seperti itu pula yang terdapat di dusun Nglebak. Pada
kenyataannya listrik yang dihasilkan PLTS masih sangat kurang, hanya cukup
untuk menyalakan dua lampu. Untuk memenuhi kebutuhan listrik, warga justru
mengambil dari Bojonegoro dengan harga yang cukup mahal.
Saat pertama kali kami datang ke desa Nglebak, Pak Carik
langsung menyampaikan bahwa yang dibutuhkan masyarakat di Nglebak saat ini
adalah listrik PLN, bukan PLTS. Katanya berulang kali mereka mengajukan
proposal untuk pembangunan jalur listrik PLN dari pemerintah tidak mendapat
respon, dan ketika ada tawaran pembangunan PLTS dan mengajukan proposal
ternyata langsung ditanggapi. Namun saat itu pemerintah juga berencana
mengadakan penambahan PLTS di Nglebak dan di Kudu.
Selain permasalahan listrik, permasalahan utama yang
dihadapi masyarakat adalah masalah pertanian. Disana mayoritas bertanam padi,
jagung, dan menyok (ketela). Petani hanya mampu panen sekali karena
sulitnya air, dan jarangnya intensitas hujan. Terkadang mereka justru merugi
karena keuntungan bersih yang didapat justru lebih kecil dari biaya pupuk yang
harus dikeluarkan selama proses tanam. Kebanyakan mereka memanfaatkan tanah
corah, yakni tanah milik perhutani, yang bisa digunakan dengan bagi hasil 10%
dari panen diserahkan ke pihak perhutani. Walhasil kebanyakan harus bekerja
serabutan, menebang tebu pada pemilik lahan tebu, bekerja bangunan, atau
pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di daerah ini terdapat hutan jati yang masuk dalam KPH
Ngawi. Yang menjadi ironi adalah masyarakat tidak merasakan hasil dari jati,
selain bantuan tanah corah, sementara jalanan disekitarnya banyak yang masih
rusak karena tidak dibangun, karena masuk dalam wilayah KPH Ngawi, bukan
wewenang pemerintah untuk membangun jalan, begitu katanya. Karena berbagai
keterbatasan itulah mayoritas pemudanya memilih untuk merantau, bekerja di
luar, di restoran-restoran Madiun, atau ada yang ikut bekerja ke Kalimantan dan
berhasil meniti karir di sana.
Meski dengan segala keterbatasannya, tempat ini bagi saya
cukup menyajikan pemandangan yang indah, yakni pemandangan sungai Bengawan Solo
yang begitu menawan. Selain itu suasana desa juga masih begitu tenang, jauh
dari keramaian kota. Kita bisa berjalan pagi-pagi di tengah ladang jagung atau
hutan jati yang sejuk dan jarang bisa dijumpai di lingkungan kampus. Dan yang
membuat lebih tenang lagi karena disini, saya terbebas dari tanggungan
tugas-tugas kuliah, maupun kegiatan organisasi di kampus yang terkadang juga
menyita waktu.
Gambar 2. Pemandangan Bengawan Solo di Kudu
Di sela-sela waktu KKN Riza membawa banyak buku bacaan. Satu
yang membuat saya tertarik adalah Max Havelaar, karya dari Douwess Dekker dalam
versi terjemahan. Sejak kecil di sekolah-sekolah tentu telah diajarkan
bagaimana buku ini berperan penting merubah dunia, menjadi salah satu pemantik
kebangkitan nasional. Tentu saya tertarik untuk membaca seperti apa isi dari
buku yang fenomenal ini. Ketika membaca saya sempat frustasi karena ceritanya
ternyata agak berbelit-belit dan membingungkan. Bagaimana mungkin buku seperti
ini bisa mengubah dunia? Pikir saya.
Menurut saya kekuatan
buku ini ada pada konteksnya yang berawal dari kenyataan yang terjadi lama di
Hindia Belanda (Indonesia) pada masa penjajahan. Kondisi yang sedemikian, buruk
dan korup namun tidak ada yang tergerak merubah keadaan. Rakyat kecil justru
tertindas oleh kesewenang-wenangan rajanya, dengan memanfaatkan loyalitas
mereka pada pemimpin yang dianggap sebagai kewajiban kaum sudra untuk
bisa dikatakan beretika dan bertatakrama. Pembaca pun dibuat muak dua kali,
pertama karena ceritanya yang berbelit, kedua karena muak dengan kebobrokan
sistem yang ada di zaman tersebut. Satu pelajaran penting disini, terkadang
suatu karya besar tidaklah harus memiliki nilai sastra yang tinggi, tidak harus
dengan bahasa yang mendayu-dayu. Namun lebih ke emosi pembaca yang dimainkan, serta
pesan moral yang hendak disampaikan.
Kembali ke KKN, dalam dua bulan ini ada satu program besar
dari subunit saya yang saya rasa cukup berhasil yakni pembangunan MCK di Kudu.
Beranjak dari masalah awal, awalnya kami hanya berniat membantu membuatkan
proposal pengajuan MCK, yang nantinya akan diserahkan ke dinas kesehatan atau
instansi yang bisa dimintai bantuan. Namun berkat ide dari teman-teman UNS,
yang mana ketika itu LAZIS UNS bersedia memberikan bantuan untuk proposal
semacam ini akhirnya kita memutuskan untuk benar-benar mewujudkan
pembangunannya.
Uang yang terkumpul dari LAZIS UNS tentu tidaklah cukup,
sehingga kami bergerilya memintakan bantuan dana pada rekan-rekan dan
sanak-saudara. Tidak disangka-sangka ternyata dana terkumpul hingga 8 juta
lebih. Hingga akhirnya kami dibantu Pak Carik mencarikan tukang dan memulai
pekerjaan. Saya sama sekali tidak menyangka pekerjaan seperti ini akan
berlangsung demikian cepat. Tidak sampai 2 minggu MCK yang diimpi-impikan pun
telah berdiri dengan indahnya. Selebihnya dalam pembangunan MCK ini juga
mendapatkan bantuan dari warga sekitar Kudu yang membantu menyumbang baik
makan, semen, maupun tenaga.
Yang lebih membahagiakan lagi dari pihak pembangunan PLTS
ternyata datang di akhir-akhir dan berencana membangun masjid yang sebelumnya
baru dibangun seadanya menggunakan kasibot. Kami membantu memesankan material
yang diperlukan. Selain pembangunan MCK, kami juga melaksanakan program lain
seperti pembukaan perpustakaan, plangisasi, pengecatan pos kamling, pembagian
obat cacing untuk ternak dan acara-acara seperti 17an, mengajar di SD,
sosialisasi 3M, sosialisasi kompos, sosialiasasi pembuatan tepung mocav dan
banyak program lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Meski terkadang
sering main, unit kami tergolong rajin bila dibandingkan dengan yang lain.
Seperti terkait pembuatan laporan pelaksanaan kegiatan, unit kami menyelesaikan
laporan sebelum pulang ke kampus, dan sempat mengumpulkannya kepada pihak
kelurahan, kecamatan, serta BAPPEDA sesuai arahan buku pedoman. Sementara unit
lain banyak yang selesai KKN, sesampainya di kampus baru memulai membuat
laporan. Mungkin memang unit kami saja yang sejak awal terlalu saklek mengikuti arahan buku pedoman yang pada
prakteknya tidak harus sekaku itu. Tapi sudahlah, dengan demikian kami tidak
perlu repot-repot mikirin laporan di awal-awal masa perkuliahan.
Sekian cerita KKN nya, lain kali dilanjut lagi ya! :D
Gambar 3. Mengajar TPA
Gambar 4. Masjid di Kudu sebelum dibangun
Gambar 5. Sosialisasi tepung mocav bersama warga
Gambar 6. Penambang pasir di Bengawan Solo
Gambar 7. Mengajar di SD Nglebak
Gambar 8. Pengecatan Pos Kamling
Gambar 9. MCK di Kudu selesai pembangunan
Gambar 10. Syukuran dan peresmian MCK Kudu
Gambar 11. Sub Unit Plumbon bersama Pak Carik
No comments:
Post a Comment