Di zaman serba materialis seperti ini sepertinya mustahil
menemukan orang-orang yang mau bekerja tanpa digaji, bahkan yang digaji pun
terkadang masih menuntut mendapatkan upah yang lebih layak untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Semua aspek kehidupan dikomersilkan, jasa les privat,
event organizer, katering, delivery, bahkan yang sekedar parkir saja ditarik
biaya. Semuanya butuh uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya!
Namun sadarkah ternyata di luar dugaan kita masih ada saja
orang-orang yang mau bekerja, memberikan jasanya kepada orang lain tanpa
digaji, atau sekedar diberi “gaji” penghibur yang nilainya sebenarnya tidak
sesuai dengan kerja yang dilakukan. Siapakah mereka?
Mereka adalah para pemuda yang mengisi waktu luangnya untuk berkontribusi di lembaga-lembaga/organisasi di sekitar lingkungannya. Pemuda-pemudi ini rela rapat berjam-jam untuk merencanakan kegiatan yang manfaatnya dirasakan orang lain disekitarnya. Rela mengurangi waktu istirahatnya untuk berkontribusi, bagi kemajuan lingkungan, masyarakat, bangsa dan negaranya. Namun apakah benar demikian? Benarkah tidak ada motivasi lain di balik semangat mereka?
Tentu ada banyak ladang yang bisa mereka gunakan sebagai
tempat berkontribusi. Dari setingkat sekolah saja (SMP-SMA), ada yang memilih
berkontribusi di lembaga eksekutif seperti OSIS, ada yang memilih lembaga
kepramukaan, ada yang memilih lembaga keagamaan seperti ROHIS, ada yang suka di
lembaga kemanusiaan seperti PMR, dan masih banyak lagi sektor yang bisa menjadi
tempat bagi pemuda-pemudi ini untuk berkontribusi.
Belum lagi yang setingkat mahasiswa, ada banyak sekali
organisasi mahasiswa yang dibentuk dan bisa menjadi lahan bagi mereka untuk
berkontribusi. Mulai dari BEM, KM/HM, LDK, Kelompok Studi, Mapala, berbagai
jenis uKM dari keolahragaan, seni, jurnalistik, penelitian yang terbentuk baik
di tingkat universitas, fakultas, bahkan hingga jurusan dan prodi. Itu masih
yang ditingkat internal kampus, masih ada banyak organisasi eksternal seperti
organisasi-organisasi pergerakan, organisasi mahasiswa daerah, dan berbagai
organisasi lain yang turut mewadahi semangat pemuda untuk berkontribusi.
Di tengah kewajiban sekolah/kuliahnya mereka masih mau
meluangkan waktu, tenaga, pikirannya untuk suatu organisasi yang menjadi tempatnya
berkontribusi. Bila dilogika sepertinya konyol sekali ada orang yang mau
bekerja, memberikan jasanya untuk orang lain padahal dirinya tidak digaji.
Bahkan tak jarang mereka yang tergabung dalam kegiatan seperti ini justru rela
mengeluarkan uangnya, atau mencarikan dana dengan berjualan, mencarikan sponsor
untuk demi terselenggaranya kegiatan yang direncanakan bersama oleh
organisasinya. Manusia macam apa ini? Susah-susah cari uang tapi malah
digunakan untuk orang lain, disaat yang lain merebut hak orang lain untuk
memperkaya diri sendiri. Padahal kalau ia mau lebih baik untuk menambah uang
jajannya sendiri bukan?
Lalu apa motivasi mereka sebenarnya? Mengapa mereka mau
melakukan semua pekerjaan ini tanpa ada yang menggaji? Bila kita analisis tentu
ada beberapa motif yang dimiliki
orang-orang ini, diantaranya
1. Melatih softskill
Salah satu alasan kuat untuk
mengikuti kegiatan non akademik seperti bergabung di organisasi adalah untuk
melatih softskill, seperti kemampuan public speaking, manajemen waktu, manajemen
tim, kepemimpinan, kreativitas, kedisiplinan, profesionalitas kerja, yang
biasanya tidak bisa didapatkan bila hanya mendengarkan materi di kelas.
Kesemuanya adalah ketrampilan yang akan bisa didapatkan setelah melalui proses
panjang di lapangan. Seseorang yang terbiasa berbicara dalam forum akan semakin
meningkat kemampuan public speakingnya. Mereka yang mengikuti berbagai
organisasi dengan sendirinya belajar manajemen waktu agar semua urusan baik
kuliah maupun organisasinya bisa tetap berjalan memuaskan. Begitu pula
kemampuan lain seperti manajemen tim, leadership, dan kreativitas akan semakin
meningkat ketika terus diasah dalam kesibukan berorganisasi.
Suvey menunjukkan dalam dunia
kerja dibutuhkan 80% softskill dan 20% hard skill. Bahkan diantaranya ada yang
beranggapan prosentase hard skill yang dibutuhkan lebih kecil dari itu.
Sayangnya pendidikan formal kurang atau bahkan tidak mampu menyuguhkan
kemampuan ini pada para siswa/mahasiswanya. Untuk itulah penting sekali bagi
siswa/mahasiswa untuk aktif mengembangkan kemampuannya dengan mengikuti
berbagai kegiatan organisasi di lingkungannya.
Terkadang seseorang bergabung di
organisasi dengan harapan bisa mendapatkan kemampuan softskill tertentu. Jadi
apakah benar pekerjaannya itu benar-benar tulus? Mereka yang merasa tidak
mendapatkan kemampuan yang diharapkan ketika bergabung dalam suatu organisasi
akan cenderung untuk mundur, memilih mencari kesibukan lain. Terkadang memang
persepsi kita terhadap suatu organisasi salah. Kita melihat dari luar sepertinya
baik-baik saja, namun ketika masuk di dalamnya kita akan menjumpai kekurangan
di sana-sini, tidak semuanya terorganisir dengan rapi.
Mereka yang niatnya hanya untuk
menambah softskill akan kecewa karena merasa dirinya tidak dapat berkembang dan
memilih mundur dari organisasi tersebut. Padahal justru softskill kita akan
benar-benar berkembang ketika kita sudah terbiasa berurusan dengan masalah,
bukan malah menghindarinya. Ketika suatu organisasi belum sempurna, maka usaha
kita untuk turut memperbaikinya itulah yang akan semakin meningkatkan skill
kita, bukan sebaliknya. Namun kita tidak pernah menyalahkan orang-orang seperti
ini.
Semakin banyak orang profesional
yang dilahirkan, insyaAllah semakin maju bangsa ini. Bila kedua-duanya
mendapatkan keuntungan (pihak organisasi dan anggota) kenapa tidak? Justru kita
bisa memanfaatkan motivasi seperti ini untuk terus mengembangkan organisasi.
2. Menambah CV
Motif selanjutnya adalah untuk
memperbanyak CV. Sudah kita ketahui bersama bahwa dalam pekerjaan kini yang dilihat
pewawancara kerja adalah CV kita. Tentu yang dilihat bukan bagaimana pembuatan
desain CV yang bagus, namun bagaimana isi dari CV tersebut. Pengalaman apa saja
yang kita miliki, kegiatan apa saja yang kita ikuti selama kuliah. Mereka yang
IP nya selangit namun tidak pernah punya pengalaman di organisasi atau kegiatan
lain tentu akan kalah dibandingkan yang IP nya pas-pasan namun mengisi waktunya
dengan kegiatan lain seperti berorganisasi.
Pengalaman kepanitiaan,
pengalaman menjadi koordinator acara, ketua bidang atau ketua organisasi tentu
akan menambah nilai jual diri sendiri, dan mempertebal lembaran CV untuk itulah
banyak yang bersemangat mengikuti kegiatan organisasi
3. Memperluas jaringan
Motif selanjutnya yang menjadi
alasan seseorang bergabung dengan organisasi adalah untuk memperluas jaringan.
Banyak orang-orang besar, pejabat pemerintahan, pengusaha, atau tokoh-tokoh
lain yang lahir dari tempaan organisasi ekstra sekolah/kampus. Tentu dengan
bergabung dalam organisasi kita bisa mengenal orang-orang hebat di luar sana,
dan bisa memperluas jaringan kita.
Jaringan yang semakin luas akan
membuat urusan kita semakin mudah. Bila butuh apa-apa tinggal cari orang yang
ahli di dalamnya. Bila sudah kenal, dan akrab tentu akan lebih mudah untuk
mendapatkan bantuan. Terlebih lagi sekedar mengenal saja tidak akan cukup,
seseorang yang tergabung di organisasi yang sama, sama-sama merasakan susah
senangnya mengurus organisasi tentu akan memiliki ikatan batin yang lebih kuat
daripada orang yang sekedar kenal di kelas atau tempat lainnya.
4. Mengembangkan hobi/mikat
Motif selanjutnya adalah
mengembangkan hobi atau minat bakat. Seseorang yang hobi dengan kegiatan
tertentu seperti olahraga, traveling, elektronika, debate, dsb, tentu akan merasa nyaman untuk menyalurkannya
di kegiatan ekstra sekolah/kampus. Berawal dari hobi bila terus dilatih dan
dikembangkan bisa jadi berujung prestasi. Terkadang yang setingkat atlit bahkan
kegiatan di luar ini seakan menjadi kegiatan utamanya, sementara kuliahnya
hanya sebagai sambilan.
Mereka mau rutin berlatih,
mengumpulkan dana untuk mengikuti kejuaraan, bahkan terkadang menyita waktu
kuliah mereka untuk mengembangkan bakatnya. Tidak ada yang salah memang, kita
butuh orang-orang dengan motivasi tinggi seperti mereka bila ingin melihat
Indonesia maju di berbagai bidang kejuaraan, merekalah yang akan mengharumkan
nama Indonesia dengan prestasinya.
5. Kontribusi
Yang terakhir adalah yang paling
jarang ditemui, namun ada. Yakni orang yang benar-benar niatnya tulus hanya
untuk berkontribusi. Hasratnya untuk memberi, memperbaiki, menerapkan ilmunya
di masyarakat. Memang sulit membedakan antara oarng yang benar-benar tulus
ingin berkontribusi dengan yang punya niatan lain. Orang orang inilah yang
digaji ikhlas. Semua yang dilakukan atas dasar ketulusannya.
Orang-orang inilah yang bisa
dikatakan “aneh”, orang-orang yang mau bekerja tanpa digaji. Bahkan kadang mau
mengeluarkan hartanya untuk menyukseskan kegiatan lembaga/organisasinya. Mau
jualan, mencarikan dana bukan untuk menambah uang sakunya namun justru untuk
menyelenggarakan kegiatan yang manfaatnya dirasakan orang lain. Orang macam apa
ini? Mereka rela menyisihkan waktu, tenaga, dan pikirannya kebaikan orang lain.
Padahal tentu yang dilakukannya
akan membuatnya sibuk, dan harus membagi waktu belajarnya dengan kegiatan di
lembaganya. Mengapa mereka mampu bertahan?
Ada yang bertahan karena sudah passion
di bidangnya, ada juga yang bertahan karena ianya punya cita-cita mulia yang
hendak diwujudkan untuk diri, lingkungan, agama dan bangsanya. Besarnya tekanan
tidak membuatnya jera, takut dan mundur ke belakang, namun justru membuatnya
semakin teguh dalam perjuangannya mewujudkan impian besarnya. Bila memimpin
organisasi saja berantakan, bagaimana hendak memimpin negeri sebesar Indonesia?
Bagaimana hendak memperbaiki Indonesia, bila memperbaiki sekitarnya tidak bisa.
Pahitnya pengalaman yang dialami justru akan membuatnya semakin kuat, dan
semakin kencang berlari.
Mereka lah pemuda-pemudi yang
gelisah, gundah dengan kondisi bangsanya. Merekalah pemuda yang tidak pernah
puas, dan memimpikan Indonesia yang lebih baik, lebih bermartabat di masa
depan. Ia sadar perubahan itu berawal dari tangan-tangan mereka. Seperti
anak-anak muda STOVIA yang menginisisasi organisasi Boedi Oetomo, yang kelahirannya
dijadikan hari kebangkitan nasional. Ya, dari ketulusan niat para pemuda itulah
bangsa in bisa disadarkan, bangkit dari keterpurukannya.
Dari cita-cita tulus, dan
perjuangan yang tak kenal mundur itulah kemerdekaan bisa diraih bangsa yang
tiga setengah abad lebih terjajah. Seperti itulah seharusnya pemuda. Apalah
artinya pemuda tanpa cita-cita, harapan dan semangat besarnya? Apa yang hendak
dibanggakan pemuda bila bukan dari kegigihan perjuangannya?
Kepekaan dan kepedulian itu
tidaklah muncul dengan sendirinya. Ianya perlu dilatih sedini mungkin. Mumpung
masih belum mengenal gaji, disitulah idealisme kita diuji. Bukan berarti mereka
lemah karena tak digaji, justru karena tidak digaji maka satu-satunya
kebahagiaan yang ingin diraih adalah keberhasilan dan tercapainya cita-cita
yang tinggi. Orang-orang inilah yang menjadi agen pengubah bangsa ini. Dari
tangannyalah lahir pribadi besar yang akan memberikan karya-karya besar bagi
kemajuan bangsa ini.
Kepadanyalah bangsa ini
berhutang, maka sudah seharusnya pemerintah mendukung aktivitas mereka.
Melindungi mereka, bukan menekan lagi mengkerdilkan pergerakannya. Bila ingin
melihat bangsa ini maju, maka biarkanlah pemuda bergerak, mengekspresikan
kebebasannya untuk berpikir, berserikat, berpendapat dan mengukir karya-karya
besarnya. Biarkan mereka belajar, mengembangkan layarnya, berjalan menerjang
badai kehidupan. Karena merekalah pejuang-pejuang muda, masa depan Indonesia.
Tetap bergerak dan berkontribusi nyata pejuang!
No comments:
Post a Comment