Lama sekali saya mencoba “ngempet” untuk tidak ikut
berkomentar terkait isu PILKADA DKI yang sedemikian hebohnya sampai muncul aksi
bela-bela berjilid-jilid. Saya tetap pada posisi saya, tidak ingin ikut-ikutan
dengan kelompok yang menebar kebencian pada salah satu paslon pun juga tak
ingin ikut-ikutan mencibir kelompok ini. Ya mau gimana lagi, begitu-begitu
masih saudara saya, saudara seiman islam, pantang bagi saya untuk memperlebar
konflik yang malah bisa berujung pada terpecah belahnya umat Islam itu sendiri.
Namun kali ini setelah Pilkada putaran pertama berakhir
dengan kekalahan Agus Harimurti Yudhoyono, saya malah sedemikian tertarik untuk
berkomentar. Melihat Mas Agus ini saya seperti melihat diri saya sendiri dua
tahun yang lalu saat dengan pedenya mendaftarkan diri mengikuti Kejurnas (Kejuaraan
Nasional) Pencak Silat antar perguruan tinggi yang kebetulan diselenggarakan di
kampus sendiri, Universitas Gadjah Mada.
Padahal waktu itu saya masih siswa sabuk polos, siswa dengan
tingkatan sabuk terendah dalam hierarki tingkatan siswa dalam perguruan saya,
PSHT. Entah apa yang ada dalam benak saya waktu itu, padahal Kejurnas ini
termasuk event bergengsi yang biasanya diikuti para atlit yang telah menuai
banyak prestasi sedari kecil/remaja dulu, sementara saya sama sekali belum ada
pengalaman pertanding, itulah pertandingan pertama saya. Saya hanya teringat
dengan pelatih saya di Blora dulu, “Suk yen ana turnamen melua, menang kalah
gak dadi masalah, penting nyoba disik”. Kurang lebih seperti itu pesan pelatih
saya dulu.
Walhasil, dibanting-bantinglah saya, sampai pelatih langsung
lempar anduk (isyarat menyerah) pada ronde pertama, baru beberapa detik
berjalan pertandingan. Rasa malu, sedih, kecewa bercampur baur menjadi satu.
Padahal sebelumnya dalam sesi latihan saya selalu jadi yang paling rajin, dibanding
teman-teman lainnya, saya tidak tahu apa yang salah dengan diri saya.
Namun apakah saya kemudian menyerah dan berhenti latihan?
Tidak sama sekali! Justru berawal dari sanalah saya “sadar diri” pada kemampuan
saya yang masih belum ada apa-apanya. Sejak saat itu saya semakin semangat
latihan, dan saya latihan tiada lelah untuk bisa menjadi lebih baik lagi, sampai
kini meski sudah jadi pelatih/warga di perguruan, tetap saja saya masih terus
berlatih, karena merasa belum bisa membayarkan kekalahan saya dulu di arena.
Seperti itu pula yang saya lihat pada Mas Agus kali ini. Sejak
semula bagi orang yang awam sekalipun pastinya sudah bisa menduga kekalahan Mas
Agus. Terlebih setelah melihat jalannya debat antar Paslon. Mau bagaimana lagi,
mengharapkan kemenangan seorang pemula melawan macan-macan tangguh seperti Pak
Ahok dan Pak Anies ini sama saja mengharapkan kemenangan saya dulu dalam
Kejurnas Perti UGM. Hampir mustahil, dan sangat kecil sekali kemungkinan
menangnya. Padahal pengorbanannya juga luar biasa, sampai harus menanggalkan
karirnya di dunia militer, menghapus cita-cita Jendral dari benaknya hanya demi
berhadapan dan dikalahkan macan-macan tangguh DKI.
Namun seperti saya dulu, apakah dengan kekalahan ini Mas
Agus akan berhenti sampai di sini, menyerah, beralih jualan bubur seperti Mas
Norman? (maaf, tolong jangan dijadikan bahan ledekan, jual bubur itu juga
terhormat asalkan halal, mending jual bubur daripada jual negara!!)
Saya tidak yakin. Saya yakin yang dirasakan Mas Agus saat
ini hampir sama dengan yang saya rasakan dahulu. Bila Mas Agus ini seorang challenger sejati, tentu saja tidak akan
berhenti disini, Mas Agus akan segera bangkit, mengambil pelajaran dari
lawan-lawannya, dan terus belajar menjadi seorang pemimpin yang besar di masa
depan nanti.
Mengenai Pak SBY, saya sendiri ragu bila dikatakan Pak SBY
tidak bisa memprediksikan kekalahan anaknya. Lalu mengapa sampai mengorbankan
karir anaknya bila tahu bakal kalah? Dari sini lah muncul opini bila barangkali
memang bukan untuk DKI AHY disiapkan. DKI hanya dijadikan ajang untuk uji
tanding pertamanya, supaya mas Agus belajar banyak dari kekalahannya. Iya
belajar dari kekalahan!!
Ide ini mengerikan sekali menurut saya yang berkali-kali
merasakan pahitnya kekalahan. Kekalahan bisa membuat orang mundur, dan
menyerah, namun bagi sebagian orang lain justru mampu menjadi pemacu yang hebat
untuk belajar. Bila mungkin Mas Agus sebelumnya masih setengah hati, berjuang
hanya untuk menuruti keinginan orangtuanya, maka bisa jadi setelah kekalahan
ini, tertanamlah dengan semakin mantap cita-cita untuk menjadi pemimpin bangsa.
Karena mau bagaimana lagi? Kembali ke dunia militer dan bercita-cita menjadi
Jendral juga sudah tidak mungkin. Berhenti, dan jadi pengusaha seperti Norman
Kamaru juga rasa-rasanya terlalu receh untuk seorang anak mantan Presiden.
Mas Agus sudah terlanjur basah, mending nyebur sekalian!!
(kata pelatih saya dulu). Mas Agus sudah terlanjur maju di arena pertandingan,
sudah kadung jadi sorotan massa, mau mundur, berhenti bermimpi jadi pemimpin
besar? Bisa-bisa saja sih, tapi rasa-rasanya itu bukan jiwanya seorang ksatria
semacam Mas Agus ini.
Bila Mas Agus akhirnya berhenti dan memilih menjalani
kehidupan biasa, hidup bahagia bersama istri dan anak-anaknya maka itu mulia
sekali, tetapi akan jadi sangat-sangat tidak menarik jalan ceritanya.
Sebaliknya, bila Mas Agus ternyata justru tertantang untuk
belajar lebih banyak, dan tak kenal lelah belajar untuk menjadi pemimpin yang
besar di masa depan, maka saya merinding membayangkan akan menjadi pemimpin
sebesar apa Mas Agus ini, bila sedari muda sudah digembleng sedemikian keras menantang
“macan-macan tangguh” di Pilgub DKI yang notabenenya, menjadi sorotan karena
bisa menjadi batu loncatan sebelum berebut kursi RI 1.
Jadi apa yang akan
dilakukan Mas Agus setelah ini? Berikut kami lampirkan dari pidato terakhirnya.
“Secara pribadi, ke depan nanti saya akan tetap mendarma
baktikan hidup saya untuk ikut memajukan bangsa dan negara tercinta ini menuju
Indonesia Emas 2045.”
Tentu yang lebih menarik adalah Mas Agus bisa menjadi role model bagi pemuda lainnya untuk berani unjuk gigi,
tidak takut gagal, dan kalah dalam mengejar cita-citanya.
“Saya juga secara khusus tentunya mengajak generasi muda
untuk terus berbuat yang terbaik, jangan pernah takut gagal, jangan pernah
takut kalah. Berbuatlah yang terbaik, karena banyak sekali yang bisa dilakukan
oleh generasi muda!!”
Akhirnya, ini hanya opini saya pribadi, berdasarkan kata
hati, dan pengalaman pribadi, bukan dari kajian yang njelimet dan ilmiah. Jadi
jangan cepat percaya, dan tidak usah dipikir terlalu serius juga :D
No comments:
Post a Comment