Foto: Wawancara SIC
"Hidup ini hanyalah cerita besar yang didalamnya terdapat cerita demi cerita kecil yang terus bergantian. Cerita yang satu berakhir, cerita yang baru dimulai. Yang pergi meninggalkan pelajaran, yang datang membawakan harapan. Selalu yakin bahwa semua yang terjadi sudah menjadi takdir-Nya, sudah diatur dengan keadilan-Nya, maka tiada lagi selain sabar dan syukur yang menjadi teman setia untuk menjalani cerita hari ini."
Kemarin baru saja selesai menuntaskan amanah di KMT
(Keluarga Muslim Teknik UGM) XVII, sebagai kabid Muslim Media, dan kini
tiba-tiba diajak Mas Khidir dan teman-teman santri untuk mengembangkan program
pengembangan diri santri yang diberi nama oleh para foundernya SIC (Santri
Inspiration Center).
Awalnya kaget dan bingung juga ketika dihubungi Mas Khidir
untuk membantu beliau dan beberapa founder yang tak kalah tenarnya seperti Mbak
Birrul dan Mas Khanif dalam menjalankan programnya yang satu ini. Kok saya yang
diminta? Memangnya siapa saya? Prestasiku apa?
Mengingat program ini sendiri
berbasis pengembangan prestasi mahasiswa-santri. Seingatku sampai saat ini
belum pernah ada prestasi yang cukup besar yang saya capai, mungkin banter-banternya juara 3 lomba essay dari BEM
KM UGM kemarin, selain itu tidak ada, saya sendiri tidak terlalu suka ikut
lomba-lomba, kecuali berkaitan kepenulisan, karena memang ada cita-cita ke arah
sana.
Apalagi setelah melihat teman-teman exboard lain yang
diajak pun jadi sedikit minder sebenarnya, ada Mbir (panggilan akrab) alumni
Darul Ulum, yang kini jadi ketua angkatan T.industri 2013, juga aktif di beberapa
organisasi kampus, ada Lely (Farmasi 2012), yang sudah dua kali mendapat gold
medal PIMNAS, ada Nabil (Biologi 2012) Ilustrator, dan desainer Balairung yang
sudah tidak diragukan lagi kemampuan desain grafis maupun ilustrasi komiknya,
juga ada Fajrul yang kini menjadi Presiden Mahasiswa BEM KMFK UGM. Siapa saya
di antara orang-orang inspiratif ini?
Entahlah, mungkin karena cukup dekat dengan Mas Malik,
akhirnya saya pun diajak bergabung. Mungkin juga karena obrolan-obrolanku
dengan Mas Malik dulu ketika beliau masih di pondok. Beda sekali dengan mas
Malik yang bisa fokus ke Tim Robot, saya saat kuliah tidak terlalu suka dengan
pengembangan prestasi akademik atau penelitian. Saya tidak terlalu suka
mengikuti lomba-lomba ilmiah mahasiswa, meski sebenarnya banyak peluang
tersedia, malahan PKM sendiri sampai saat ini saya tidak pernah ikut. Saya
lebih memilih bergabung dengan kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa.
Awal sekali jadi maba, saya langsung mendaftar 4 organisasi
di tingkat jurusan dan fsayaltas. Sama seperti maba lain, tahun pertama
langsung digunakan untuk ikut banyak kegiatan di kampus karena rasa ingin tahu
yang tinggi, dan ditambah keinginan berkontribusi aktif setelah menyandang gelar
mahasiswa. Gelar yang tidak biasa, berat, apalagi bila melihat kenyataan
sejarah yang ditorehkan pergerakan mahasiswa, dimana mahasiswa selalu tampil di
garda terdepan perbaikan bangsanya.
Kontribusi, itulah satu kata yang terus melekat di benak
ini, sebagai mahasiswa, apa yang bisa kita sumbangkan? Sebagai warga Jurusan
Teknik Fisika, apalagi dengan OSPEK OPTIKA (Orientasi Pemimpin Teladan Teknik
Fisika) yang dulu begitu berkesan dan memberi banyak pelajaran, saya jadi
merasa punya tanggung jawab untuk membantu mengembangkan kegiatan keluarga
mahasiswa jurusan, sehingga bergabunglah saya di Keluarga Mahasiswa Teknik
Fisika di bidang KWU (Kewirausahaan).
Sebagai warga teknik, dan juga mengingat
peran mahasiswa di ranah pergerakan di masa lalu saya juga memutuskan untuk
bergabung di BEM KMFT untuk berkontribusi aktif melalui Departemen PSDM yang
saat itu masih dioprec sehingga maba bisa ikut bergabung. Sebagai
seorang muslim, yang dulu juga pernah ikut Rohis di SMA saya juga tergerak
untuk membantu teman-teman SKI Kamadz di jurusan, dan KMT (Keluarga Muslim
Teknik) di tingkat Fakultas.
Dua tahun setengah saya berkecimpung di ormawa teknik. KMTF,
BEM KMFT, KMT, SKI Kamadz, TELESKOP, FORMET, DETEKSI, DINAMIKA, PPSMB PRISMA, saya
bersyukur bisa bergabung dengan mereka dan banyak belajar darinya. Banyak
orang-orang luar biasa yang saya temui. Namun juga seringkali bertemu dengan
orang-orang yang jadi organization oriented, organisasi menjadi begitu penting
baginya, sedangkan kuliah jadi seperti
sambilan saja. Beberapa diantara mereka yakin IP bukan segala-galanya, gak
masuk kuliah sudah biasa, asal tidak melebihi batas 75%. Belajar di luar ujian
tabu bagi mereka. Gagal ujian, ya tinggal ngulang saja.
Di satu sisi memang ada benarnya, mereka mempunyai soft
skill yang mungkin akan lebih dibutuhkan nanti dari sekedar IP. Meski ada juga
yang berbeda, seperti Nabil Satria yang jadi Presiden sementara di BEM KMFT
2015. Teman baik saya dari PSDM ini memang luar biasa, banyak prestasi akademiknya,
IP nya selangit, namun masih mampu bertahan di BEM KMFT, dan aktif di beberapa
organisasi lainnya, aktivis prestatif!
Tapi pada kenyataannya tidak semua orang bisa seperti Nabil.
Saya termasuk yang gagal diantaranya. IP saya sempat jatuh, bahkan sampai satu
koma. Tapi anehnya orang tua tidak pernah memarahi saya. Entah karena sudah
cukup bangga anaknya bisa masuk Teknik Fisika UGM, atau karena saya anak terakhir
yang menjadi tanggungan mereka karena kedua kakak saya sudah bekerja. Entahlah,
mungkin pernah hanya menanyakan “Itu ada yang E gimana? Nanti diremed ya,
uangnya nanti Bapak transfer”. Setelah itu tidak pernah dibahas lagi.
Malu sekali, meski tidak pernah ditanya atau dimarahi tentu saya
malu tidak bisa menunjukkan hasil yang terbaik kepada orang tua. Sejak saat itu
saya bertekad untuk memperbaiki nilai saya dan sungguh-sungguh menjalani
kuliah. Namun apakah berarti saya akan meninggalkan organisasi mahasiswa? Tidak
sama sekali, itu keputusan seorang pengecut pikir saya. IP adalah
tanggungjawabku kepada orang tua, sedangkan organisasi adalah tanggungjawabku
kepada bangsa ini sebagai seorang mahasiswa.
Bagaimana pun caranya saya harus bertahan, memenuhi
kewajiban saya, kuliah, ngaji, ngurus organisasi, ngurus pondok, latihan. Saya
memutuskan untuk bertahan, dan sedikit demi sedikit bangkit memperbaiki
keadaan. Hingga Alhamdulillah, di semester berikutnya mendapat IP yang paling
tinggi yang pernah saya capai. Saya sadar tidak seharusnya saya menyalahkan
kegiatan organisasi, pondok, atau latihan saya, yang harusnya saya salahkan ya
diri sendiri yang belum disiplin mengatur waktu.
Dan kini di saat semuanya mulai berakhir, amanah di
organisasi Fakultas berakhir tiba-tiba mendapat ajakan untuk bergabung membantu
Mas Khidir dan kawan-kawan di SIC (Santri Inspiration Center). Tantangan baru,
pikir saya. Memang sebelumnya saya sudah berniat untuk mulai fokus menunaikan
salah satu tri dharma perguruan tinggi yang belum saya jamah sama sekali, yakni
di bidang penelitian dan pengembangan. Kini tiba-tiba saya bergabung dengan
orang-orang yang sudah expert di dalamnya. Excited!
Berbeda sekali dengan sebelumnya. 180 derajat berbeda! Jika
sebelumnya saya terbiasa bekerja dengan orang-orang yang organization oriented,
yang tidak begitu mengutamakan prestasi akademik kini tiba-tiba harus bekerja
dengan orang-orang prestatif. Orang-orang yang sudah terbiasa menjuarai lomba
demi lomba, atau punya prestasi lain yang luar biasa. Padahal bagi saya dulu
mengikuti lomba-lomba adalah suatu hal yang tabu. Karena itu artinya saya harus
meninggalkan kewajiban yang saya tanggung, padahal belum saya kerjakan dengan
baik. Bahkan untuk sekedar mengikuti seminar atau program-program pelatihan
saja saya semakin jarang waktu itu.
Pernah dulu ingin ikut SP2KM, salah satu program pelatihan
kepemimpinan dari rektorat. Namun setelah saya lihat timelinenya, saya pikir
terlalu egois untuk mengikuti kegiatan semacam ini di saat masih mengemban
amanah sebagai PH (Pengurus Harian) di KMT dan SKI. Ah, menjadi pemimpin itu
tidak cukup cuma duduk mendengarkan materi! Pikirku waktu itu. Saya kira sama
saja, bagiku bersungguh-sungguh menjalankan amanah di organisasi kampus akan lebih
berarti untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan saya.
Namun sekarang saya harus bekerja dengan orang-orang yang
berbeda. Ya sudah, mau bagaimana lagi, justru dengan begini terbuka lebar
peluang bagi saya untuk menunaikan Tridharma perguruan tinggi yang terakhir. Saya
akan bisa belajar banyak dari mereka, pikirku. Alhamdulillah, saya bersyukur
dipertemukan dengan mereka. Saya bersyukur bisa menjadi salah satu ex-board,
padahal kalau harus ikut oprec pastinya sulit bagi saya untuk bisa bergabung
dengan SIC, karena memang tidak ada prestasi yang cukup berarti yang pernah saya
raih hingga saat ini. Mudah-mudahkan diberi kelurusan niat, dan keikhlasan
untuk mengabdikan diri sekali lagi. Dunia (masih) berputar! Bismillah..
No comments:
Post a Comment