Akhir-akhir ini saya sering mendengarkan ceramah dari Gus Baha
melalui channel Youtube. Selain untuk memperlancar ketrampilan maknani kitab kuning saya yang masih
begitu-begitu saja, isi kajiannya juga cukup ilmiah sehingga menarik untuk
terus diikuti.
Salah satunya beliau
pernah menyampaikan bahwa hasud (dengki) dan permusuhan sesama muslim itu
meskipun memang jelek pada kenyataannya juga membawa berkah tersendiri bagi
penyebaran dakwah Islam. Misalkan saja konflik antar Gus (istilah untuk
anak/mantu Kiai) dalam suatu pondok pesantren yang akhirnya membuat beberapa
diantaranya memilih untuk hijrah dan mendirikan
pesantren sendiri yang kemudian hari malah menjadi besar. Meski hasud itu jelek namun akhirnya membawa
berkah karena penyebaran dakwah islam menjadi semakin luas tidak terkungkung di
satu lokasi saja.
Lain masalah dakwah lain masalah politik. Kontestasi politik
yang berkembang saat ini telah melahirkan dua kelompok besar (setidaknya terlihat
besar) yang menunjukkan konflik yang tampaknya tak akan mudah terselesaikan sampai Fahri Hamzah menjadi RI 1. “Cebong vs Kampret”
begitu orang-orang menamakannya. Berakhirnya Pilpres 2014 dengan terpilihnya
Bapak Jokowi sebagai Presiden ternyata tidak mengakhiri konflik kedua kubu ini.
Malah semakin memanas lagi terlihat pada kontestasi Pemilihan Gubernur DKI
Jakarta 2017 kemarin.
Buah dari konflik ini adalah munculnya pengawasan yang cukup
ketat bagi petahana dari kubu yang berlawanan. Pak Jokowi yang didukung kubu
“cebong” akan selalu dikritisi kebijakannya oleh kubu “kampret” dan dicari-cari
kesalahannya untuk dijatuhkan. Sebaliknya Pak Anies yang didukung kubu
“kampret” menjadi bulan-bulanan oleh kritikan dari kubu “cebong” atas
kebijakan-kebijakannya yang dinilai kontroversial.
Hampir setiap hari di lini masa sosial media kita selalu ada
saja postingan dari salah satu kubu ini. Pihak Anies-Sandi
juga terus dibully atas kebijakannya mulai dari penataan tanah abang,
reklamasi, penanganan banjir, DP 0%, penataan motor dan becak, hingga perkara
memakai sepatu kets dalam kegiatan dinasnya. Sebaliknya, Pak Jokowi terus diserang mulai dari
masalah hutang luar negri, UU Ormas, kriminalisasi ulama, tenaga kerja china,
kenaikan harga-harga, impor Beras, hingga saat memakai kaos dalam kegiatan
dinasnya . Setimpal!
Apa yang terlihat baik oleh satu kubu, akan diputar balik
menjadi terlihat salah oleh kubu lawannya. Pembangunan infrastruktur misalnya,
yang dilihat oleh kubu “cebong” sebagai prestasi gemilang Pak Jokowi, oleh kubu
“kampret” dianggap sebagai upaya menambah hutang luar negri yang justru akan
menyengsarakan bangsa di kemudian hari. Penataan motor dan becak oleh Pak Anies,
yang oleh kubu “kampret” dianggap sebagai prestasi dalam keberpihakan terhadap
rakyat kecil, oleh pihak “cebong” dianggap sebagai kebijakan yang justru akan
meningkatkan kesmrawutan DKI Jakarta. Masing-masing pihak mendadak menjadi
begitu kritis dan vokal berpendapat atas kebijakan baru yang dikeluarkan lawan
politiknya.
Meski kita terkadang jengah dengan hoax yang sering beredar serta perang argumen yang tiada hentinya
ditampilkan di media sosial ini, namun perlu kita syukuri bahwa inilah
perwujudan dari partisipasi aktif masyarakat pada jalannya pemerintahan.
Bukankah dengan ini petahana menjadi super hati-hati dalam mengeluarkan
kebijakan supaya tidak menjadi bahan bully-an
kubu lawannya? “Cebong” dan “kampret” telah berhasil mengambil alih peran
mahasiswa sebagai agen social control!
Selama masih ada “cebong” dan “kampret”, mahasiswa bisa tetap tenang menyelesaikan
tugas-tugas kuliahnya, membaca buku teksbooknya yang tebal-tebal itu, atau
sekedar cangkrukan dan ngopi-ngopi guna menghilangkan stres atas beratnya beban
perkuliahan di kampus. Inilah keberkahan
yang nyata! Hidup Cebong & Kampret Indonesia!
Yogyakarta, 29 Januari
2018
Sigit Arif Anggoro, S.T.
No comments:
Post a Comment