Tiga
bulan lebih semenjak pemerintahan dipegang oleh pasangan Presiden dan Wakil
Presiden, Jokowi-JK. Masih lekat dalam ingatan dalam masa kampanyenya pasangan
Jokowi-JK ini sempat mengusung misi Nawa Cita untuk mewujudkan visi Indonesia
yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Sekarang Jokowi-JK telah mendapt kepercayaan
rakyat untuk memegang kekuasaan. Apakah benar Nawa Cita merupakan cita-cita
Jokowi-JK membangun bangsa yang kemudian akan direalisasikan, atau hanya janji
pemanis yang dibuat untuk meraih tampuk kekuasaan? Apakah Nawa Cita benar-benar
telah sesuai dengan cita-cita bangsa dan sesuai dengan kebutuhan rakyat
Indonesia kini?
Berikut sembilan misi
yang dijanjikan Jokowi (Nawa cita)
- Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
- Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.
- Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
- Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
- Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program "Indonesia Pintar"; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.
- Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
- Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
- Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.
- Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
Bila kita lihat tentunya ide pertama mengenai
perlindungan terhadap segenap warga negara ini sudah sesuai dengan cita-cita
nasional seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, “Melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Setiap warga negara berhak atas
jaminan perlindungan dari negara. Dimana
pun ia berada baik yang di dalam negeri maupun yang bekerja sebagai migran di
luar negeri perlu mendapat perlindungan negara. Untuk apa ada negara bila tidak
mampu melindungi rakyatnya sendiri?
Sayangnya dalam realisasinya, tidak sesuai dengan
kebijakan yang dijalankan pemerintahan Jokowi-JK. Seperti yang diungkapkan
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah terkait penanganan peristiwa
hukuman mati yang harus dijalani oleh para tenaga kerja Indonesia di luar
negeri. Anis menyatakan, “Kalau mengingat Nawa
Cita yang diucapkan Joko Widodo (Jokowi) saat kampanye calon presiden, rasanya
enak betul jadi warga negara Indonesia.”
“Jokowi
menyatakan, peristiwa hukuman mati bagi TKI di luar negeri adalah duka bangsa.
Jadi negara harus hadir membelanya. Tapi dalam praktiknya ternyata itu hanya
sebatas ngomong saja. Pembelaan terhadap TKI pun tidak pernah dilakukan oleh Negara,"
ujar Anis, mengutip pernyataan Jokowi. Demikian juga halnya dengan pernyataan
Jokowi negara harus hadir melindungi TKI yang sedang menjalani proses hukum.
"Praktiknya,
negara selalu absen dalam membela TKI, Jokowi malah menyerahkan lagi urusan
perlindungan itu kepada swasta," tegasnya.[1]
Kemudian terjadinya ketidakmerataan pembangunan
antara desa-kota memang menjadi kenyataan yang kita hadapi bersama. Tentunya
i’tikad baik untuk mulai membenahi pembangunan desa dan daerah tertinggal
seperti ini patut kita dukung bersama. Namun apakah benar-benar sudah
direalisasikan? Sejauh apa yang pemerintah kerjakan hingga saat ini?
Menurut Ketua
Lingkar Kajian Ekonomi Nusantara (LKEN) dan pakar ekonomi perdesaan, Didin S.
Damanhuri, dalam seminar “Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Jokowi–JK:
Membangun dari Pinggiran, Mengapa Pembangunan Perdesaan Macet?” di Jakarta
(9/3/2015) pembangunan dari pinggiran (daerah dan perdesaan) adalah suatu
paradigma menentang arus atau against of stream terhadap paradigma
pertumbuhan ekonomi (growth oriented).
Menurut Didin,
semua program tersebut akan terhalang oleh pendekatan growth oriented
yang telah diterapkan pemerintahan sebelumnya. Kondisi ini, ironisnya bertolak
belakang dengan pernyataan Jokowi sendiri dalam APEC dan ASEAN Summit yang
menyatakan Indonesia akan aktif dalam global supply chain. Target
ini tentunya berseberangan dengan target pembangunan kedaulatan pangan dan
kemandirian ekonomi, karena produktivitas dan daya saing kita yang rendah.
Akibatnya, ketimpangan sosial ekonomi perdesaan yang terjadi selama ini akan
semakin jauh.
Peneliti dari
Sajogyo Institute, Gunawan Wiradi, menuturkan bahwa membangun dari pinggiran
yang saat ini dilakukan barulah metafora. Kemacetan pembangunan ini
dikarenakan, ibarat pembangunan jalan, maka bukan jalan utama yang diperbaiki
melainkan trotoarnya yang diperindah.
“Ini jargon
kampanye politik praktis. Untuk itu, evaluasi target pembangunan harus
dilakukan sesuai UUD 1945” ujarnya. Menurutnya, pemerintah harus memenuhi
berbagai prasyarat reforma agraria demi perbaikan tata kelola pertanian yang
baik.
Misalnya,
pengertian reforma agraria ‘bagi-bagi’ 9 juta hektar tanah merupakan pengertian
yang salah. Datanya harus lengkap dan akurat, baru bisa dilakukan, termasuk
prasyarat untuk memiliki organisasi tani yang kuat. Berdasarkan pengalaman,
bila rezim pemerintahan berganti, permasalahan agraria akan muncul kembali.
Demikian pula, elit penguasa harus terpisah dari elit bisnis. Saat ini para
penguasa adalah pelaku bisnis.
“Jika sejumlah prasayarat ini belum terpenuhi,
bagaimana reforma agraria akan dapat dilakukan?”[2]
Terkait
reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan
terpercaya sebagai rakyat yang merindukan ditegakkannya keadilan hukum tentu
kita sangat senang dengani’tikad baik Jokowi-JK yang satu ini. Selama ini
sering sekali terjadi tindak penyelewengan penegakan hukum yang imbasnya hanya
merugikan kalangan lemah, sementara kalangan elit dan berduit selau saja kebal
hukum. Hal ini tentu membuat kita gerah dan rindu akan perubahan nyata.
Namun
apa yang terjadi pada awal kepemimpinan Jokowi-JK justru membuat kita semakin
miris, yakni saat terjadi kriminalisasi KPK. Beberapa ketua KPK ditangkap,
serta diangkatnya Komjen Pol Budi Gunawan yang sebelumnya masuk dalam list
merah KPK karena rekening gendutnya, dan kemudian dinyatakan sebagai tersangka.
Alih-alih
memberantas korupsi, pemerintah justru membiarkan perangkat pembasminya
dikebiri dan dilemahkan. Entah apa alasannya namun tindakan pemerintah Jokowi
ini tentu membuat para pegiat antikorupsi dan rakyat secara umum kecewa dengan
pemerintahan Jokowi-JK. Bagaimana hendak memberantas korupsi bila KPK
dilemahkan dan orang-orang “bermasalah” justru diangkat di posisi-posisi
penting penegakan hukum.
Selain dari permasalahan di atas,
permasalahan lain juga muncul dari ketersediaan ruang fiskal. Meski ada ruang
fiskal sebesar Rp 155 triliun dalam RAPBN Perubahan 2015, dana tersebut tidak
cukup untuk mewujudkan agenda prioritas Jokowi-JK Nawa Cita. Pemerintah perlu
lebih mendorong investasi dari swasta maupun BUMN, dengan yang tidak mencukupi
untuk realisasi agenda prioritas Jokowi-JK Nawa Cita.
Dari ruang fiskal tersebut, sekitar
Rp 94 triliun digunakan untuk menaikkan anggaran infrastruktur 47,96%, dari Rp
196 triliun dalam APBN 2015 menjadi Rp 290 triliun dalam RAPBN Perubahan 2015.
Meski sudah dinaikkan, anggaran infrastruktur Indonesia masih jauh lebih kecil
dari kebutuhan. Sedangkan sumber ruang fiskal adalah dari penghematan subsidi
bahan bakar minyak (BBM) yang totalnya Rp 230 triliun, setelah pemerintah
menghapus subsidi premium di Jawa, Madura, dan Bali serta memberlakukan subsidi
solar tetap hanya Rp 1.000 per liter.
“Ruang fiskal itu belum cukup untuk
menopang pencapaian Nawa Cita. Untuk belanja infrastruktur dan sarana kebutuhan
pemerintah saja sedikitnya dibutuhkan Rp 400 triliun dalam APBN tahun ini,”
kata Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan
Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof A Chaniago kepada
Investor Daily di Jakarta, Minggu (11/1).[3]
Nawa Cita yang sejak awal digembar-gemborkan pada
realisasinya belum memiliki perencanaan program yang jelas. Pemerintahan
Jokowi-JK selama ini hanya melakukan blusukan demi blusukan, namun belum
kunjung membuat perancanaan program yang jelas. Seharusnya bila benar-benar
serius direncanakan mana program yang hendak dilaksanakan terlebih dahulu, mana
yang ditunda. Bila tidak terealisasi semuanya pun tidak masalah selama sudah
diupayakan secara maksimal realisasi sebagian agenda Nawa Cita.
Namun kerja yang dilakukan pemerintah kini seperti
tanpa arah, belum jelas apa yang akan dikerjakan. Bila terus seperti ini, maka
publik berhak mempertanyakan, bahkan menggugat. Jangan-jangan Nawa Cita hanya
sebatas janji manis yang digunakan Jokowi-JK untuk meraih tampuk kekuasaan.
Bila benar demikian, maka berarti rakyat kita sudah ditipu dan dipermainkan.
Tidak selayaknya kita diam, kita akan terus melawan segala bentuk kedzaliman
pada rakyat Indonesia. Semoga Allah selamatkan bangsa ini dari ketidakadilan
penguasa.
Sigit Arif Anggoro
Teknik Fisika UGM '12
Referensi:
No comments:
Post a Comment