Beberapa bulan yang lalu dalam grup facebook pemandu aai ada
yang mengirim postingan “Pemandu aai wajib pakai baju koko ya!” Sejenak kemudian
ada yang berkomentar, “Yang diperintahkan syariat itu memakai pakaian yang
baik-baik, tidak ada perintah memakai baju koko”. Kemudian ada yang menambahkan
argumen bila koko sesendiri sebenarnya dari budaya Cina jadi bukan identitas
seorang muslim. Kemudian ada yang sedikit meledek “Sekalian saja diwajibkan
pakai sarung sana!”
Sejenak perdebatan ini membuat saya berpikir lebih jauh.
Memang pada kenyataannya islam lebih mementingkan substansi ketimbang
penampakan luar. Yang pertama kali dibangun adalah hati sebelum jasad. Namun
apakah benar islam sama sekali mengabaikan penampilan luar?
Dari pengamatan yang saya temukan tidak sepenuhnya benar
bila dikatakan islam mengabaikan penampilan luar. Bagaimana dengan perintah
mencukur kumis dan memelihara jenggot untuk menyelisihi orang-orang musyrik?
Bukankah ini hanya penampilan luar?
“Selisilah orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari no. 5892)
Bagaimana pula dengan kewajiban menutup aurat bagi setiap
muslim maupun muslimah? Bukankah ini juga penampilan lahiriah? Bagaimana pula
dengan kebiasaan ulama memakai pakaian tebal, gamis, atau sorban? Bukankah ini
penampilan luar juga? Lalu mengapa mereka yang menjadi pewaris para Nabi begitu
memerhatikan perkara ini?
Pada kenyataannya menjaga penampilan luar pun tak kalah pentingnya dari menjaga perkara-perkara substansial. Martin Jackues dalam bukunya “When China Rules the World” menyatakan salah satu yang menjadi identitas bagi suatu peradaban adalah “tubuh”. Tubuh yang dimaksud di sini adalah ciri-ciri fisik, seperti warna kulit dan gaya berpakaian. Tiap-tiap peradaban memiliki ciri-ciri fisik dan busana sendiri yang melambangkan kekhasannya masing-masing.
Pakaian dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting di masa
China kuno. Itu adalah sebuah instrumen aura magis kekuasaan di mana kaisar
mengendalikan dunia; selain itu, ia juga berfungsi untuk membedakan masyarakat
beradab dengan yang bar-bar, membedakan pria dan wanita, yang tinggi dan yang
rendah, yang benar dan yang tak benar-singkatnya, itu adalah instrumen dari
tatanan dalam suatu masyarakat yang berpegang pada hierarki, harmoni, dan
kewajaran
Bahkan tidak mengherankan bahwa Revolusi 1911, yang
menggulingkan pemerintahan dinasti, sekaligus juga menjadi peristiwa revolusi
busana. Tamatnya kekaisaran Qing menyebabkan berakhirnya tata pemerintahan yang
lama. Tradisi mengikat kaki bagi wanita yang bertahan ribuan tahun lenyap,
sebagaimana juga tradisi kuncir bagi laki-laki (rambut dikepang panjang seperti
ekor kuda), yang diperkenalkan oleh bangsa Manchu.
Oleh karena itu disini saya memandang sarung bukan lagi
sekedar sebagai penutup aurat, namun telah menjadi identitas muslim Indonesia,
menjadi lambang langgengnya peradaban islam yang telah beratus-ratus tahun
mengakar pada pribadi umat Islam Indonesia. Bahkan ketika zaman penjajahan
dahulu ulama kita sempat mengharamkan memakai celana pantalon karena dianggap
tasyabbuh (menyerupai) kaum kuffar Belanda. Ketika itu mudah sekali untuk
membedakan seorang pribumi dan penjajah Belanda, yakni tinggal melihat cara
berpakaiannya (pakai sarung/tidak).
Namun seiring berjalannya waktu, ghazwul fikri telah sedikit
banyak merubah pendirian kita. Mendadak kita tergila-gila dengan
pakaian-pakaian dari Barat dan dibuat malu untuk sekedar memakai sarung maupun
identitas-identitas lokal lainnya. Kita dibuat lupa akan sejarah dan identitas
kita sendiri, terombang ambing oleh arus westernisasi, hingga semua yang datang
dari Barat dianggapnya sebagai hal modern, dan selainnya dianggap kolot dan
ketinggalan zaman.
Kini semakin lama posisi sarung semakin tergantikan,
terkadang hanya digunakan ketika akan sholat, bahkan saat sholat pun lebih banyak
memakai celana pantalon ketimbang sarung. Sudah selayaknya sebagai seorang
muslim Indonesia kita bangga mengenakan sarung, karena inilah lambang
bertahannya peradaban islam Indonesia yang telah lama dibangun
pendahulu-pendahulu kita. Inilah lambang kehormatan, lambang penolakan untuk
takluk pada pengaruh Barat yang menandakan peradaban muslim Indonesia tetap
utuh tidak pernah punah dan lenyap dari sejarah dunia. Berbanggalah menjadi
sang pewaris peradaban! Wallohua’lam
No comments:
Post a Comment