“Semakin tinggi pohon semakin
kencang angin menerpa” begitu kata pepatah, nampaknya hal ini lah yang bisa
kita gunakan untuk menunjukkan betapa semakin tinggi kedudukan seseorang di
mata Allah maka akan semakin berat pula ujian dan cobaannya. Beratnya ujian
berbanding lurus dengan tingginya derajat seorang hamba. Setiap hamba-Nya yang
terpilih pasti mengalami ujian dan cobaan, bahkan hingga para Nabi dan Rasul
pun mengalami ujian.
Ada Nabi Nuh a.s. yang berdakwah
hingga beratus-ratus tahun namun hanya mendapat pengikut segelintir orang. Ada
Nabi Ibrahim yang harus menyembelih puteranya sendiri padahal baru berjumpa
setelah lama berpisah. Ada Nabi Musa yang harus melawan Fir’aun dan bala
tentaranya yang adikuasa, ada Nabi Dawud yang harus melawan Jalut. Ada juga
Nabi Ayyub yang harus bersabar atas penyakit yang menimpanya.
Semua Nabi dan Rasul diuji,
demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Makhluk yang paling Allah cintai ini pun tak luput dari ujian.
Bahkan bisa dikatakan ujian beliau adalah yang paling berat diantara yang lainnya.
Mulai dari ejekan, kecaman bahkan pernah sampai dilempari kotoran. Baik secara
fisik maupun mental Rasulullah menjadi seorang yang paling banyak mendapatkan
cobaan.
Dari sisi fisik seperti ketika
harus diboikot oleh bangsa Arab, hingga terputus pintu perdagangan dan
kesulitan untuk mencari makanan guna mempertahankan kehidupannya. Tak lupa
ketika beliau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam harus dilempari batu saat mencoba mendakwahi rakyat Thaif, namun anehnya
bukannya mendendam beliau malah mendoakan mereka dengan doa terbaiknya. Masih
teringat pula ketika beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam harus mengalami cedera dan
luka parah, terperosok dalam lubang, gigi patah, dan darah mengalir deras di
wajahnya saat perang Uhud. Dan beliau pula lah yang menahan laparnya dengan
mengganjal perutnya dengan dua batu di saat umatnya mengganjal perut mereka
dengan satu batu dalam perang Ahzab.
Belum lagi ujian mental. Mulai dari wafatnya
istri dan paman beliau di waktu yang hampir bersamaan. Padahal selama ini
mereka berdua yang selalu melindungi dan menyokong dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga
dikatakanlah tahun tersebut, tahun kesedihan. Juga beredarnya fitnah yang
menyakitkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang dilancarkan kaum munafiqun
terhadap istri Nabi, ‘Aisyah r.a. Dan masih banyak lagi beban mental yang
menimpa Nabi dalam perjuangannya menegakkan kalimatullah.
Kemudian timbul pertanyaan mengapa
tidak Allah mudahkan jalan mereka? Padahal mereka adalah orang-orang yang
paling dikasihi-Nya? Bila Allah mau mudah saja bagi-Nya untuk mengalahkan semua
musuh-musuh mereka. Mudah sekali bagi-Nya untuk menjadikan semua umat mereka
beriman, tapi mengapa Allah tak melakukan semua itu dan justru membiarkan
mereka menempuh jalan yang tak mudah dan penuh rintangan?
Semua ini hendak Allah jadikan
pelajaran bagi kita semua. Bahwa adanya ujian dalam perjuangan di jalan-Nya
adalah suatu hal yang lumrah. Allah hendak
memilah-memilah, memisakan antara yang beriman dengan yang ragu, antara
yang bersabar dengan yang menyerah, antara yang berjihad dengan yang duduk
diam. Dengannya Allah tinggikan derajat orang-orang yang mampu bertahan, dan
dengannya Allah hinakan orang-orang munafik yang masih terjebak dalam keragu-raguannya.
Seperti ketika turun perintah untuk berjihad, maka seorang beriman akan langsung
memenuhi panggilan jihad tanpa takut kehilangan harta, waktu, hingga nyawanya.
Namun bagi si munafik, ia akan langsung mundur ke belakang, mengurai berjuta
alasan untuk tak ikut terjun ke medan perang.
Seorang yang beriman ketika diuji
dengan ujian yang berat akan terus bersabar, dan yakin bahwa Allah tidak akan
menguji seseorang melebihi kemampuannya. Yakin pula di balik semua ujian ini
Allah telah menyiapkan akhir yang baik bagi kita baik di dunia maupun di
akhirat nanti. Seperti itu pula kemenangan umat Islam, ketika mampu bersabar
maka Allah beri kemenangan gemilang. Padahal sebelumnya selalu diteror dan
tidak punya daya untuk melawan, namun hanya dalam beberapa tahun mampu membalik
keadaan dan menaklukan seisi Makkah di bawah bendera Islam.
Ada satu pola yang hampir selalu
sama yang akan dialami seorang penyeru kebenaran. Yang pertama adalah berjuang
di jalanNya, menyeru pada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar. Kemudian
bersabar terhadap apa-apa yang menimpanya dalam jalan perjuangannya. Lalu yang
terakhir adalah kemenangan yang Allah anugerahkan sebagai buah kesabaran dalam
menempuh jalan kebenaran ini. Seperti itulah yang Allah anugerahkan kepada Nabi
Musa ketika menghadapi Fir’aun dan bala tentaranya, seperti itu pula yang Allah
anugerahkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para Sahabat ketika mendakwahkan islam pada ummatnya.
Awalnya menyeru ummat pada
kebenaran Islam. Kemudian harus bersabar atas segala cercaan, siksaan dari kaum
Quraisy yang tidak menyukai dakwahnya. Bertahun-tahun Rasulullah dan sahabat
berada dalam kondisi sulit, diuji dengan berbagai teror dari kaum Quraisy.
Namun pada akhirnya, dalam waktu yang begitu singkat Allah muliakan ummat islam
hingga mampu membangun basis massa di Madinah, mampu memberi perlawanan hingga
akhirnya Allah anugerahkan kemenangan yang dekat (Fathun qoriib).
Begitu pula kita bila hendak
mencapai keberhasilan dalam segala perjuangan kita. Adanya ujian dan rintangan
harusnya tak membuat kita mundur dan berbalik ke belakang, karena sudah menjadi
hal yang lumrah seorang akan diuji ketika memperjuangkan kebenaran. Tidak perlu
takut dan panik ketika ada yang memusuhi. Adanya pihak-pihak yang memusuhi
bukan berarti kita telah salah dalam menyampaikan, dan bukan berarti yang kita
sampaikan adalah suatu kesalahan. Karena sudah menjadi hal yang lumrah bila
disampaikan kebenaran, orang-orang yang tidak menyukai kebenaran itu akan
memusuhi, karena sudah menjadi sunnatullah-Nya
ada orang yang mengikuti kebenaran dan ada yang memusuhi, ada yang beriman ada
yang kafir, justru patut dipertanyakan bila perjuangan kita tidak menemui
halangan, rintangan atau tidak ada yang memusuhi. Barangkali kita belum
benar-benar berjuang atau yang kita perjuangkan bukanlah kebenaran itu sendiri.
Namun bukan berarti pula ketika
banyak yang memusuhi pertanda kita di pihak yang benar. Kita perhatikan siapa yang
memusuhi, apakah dari orang-orang beriman atau yang fasik, karena bila yang
memusuhi orang-orang beriman maka bisa jadi kita memang telah membuat suatu kesalahan.
Karena mukmin satu dan mukmin lainnya bagaikan cermin, seorang mukmin tidak
akan mengingatkan sesuatu kepada saudaranya melainkan apa yang benar dan
terbaik baginya. Maka perhatikanlah dan jangan remehkan nasihat dari
saudara-saudaramu yang beriman.
Hendaknya kita tetap berjuang,
terus bermunajat memohon pertolonganNya, dan bersabar hingga datangnya
hari-hari kemenangan. Kemenangan itu dekat, tinggal kita mau sabar atau tidak
dalam menanti datangnya pertolongan Allah. Allah hanya ingin melihat sejauh
mana perjuangan kita, sejauh mana mujahadah
kita dalam menolong agama-Nya. Dengannya Allah ingin agar kita melanggengkan
ubudiyah kita, membuktikan keimanan
kita dengan jatuh bangun di medan perjuangan, tak sekedar menjalankan ibadah
ritual namun lebih luas lagi, berjihad dan bersabar dalam perjuangan menolong
agama-Nya.
Ada satu hal yang menarik di sini,
ketika kaum muslimin telah memperoleh kemenangan, maka yang dilakukan bukannya
bersenang-senang dengan kemenangannya namun malah memutuskan untuk terus
berjuang meninggikan kalimatullah di bumi-Nya. Mereka tahu kenikmatan sejati
adalah kenikmatan di akhirat nanti, sementara dunia tidak lain hanyalah lahan
untuk menanam, berjuang, dan berjihad membuktikan keimanan yang telah diikrarkan.
Kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan yang melalaikan. Maka
selesai dari satu pekerjaan, mereka akan beralih mengerjakan pekerjaan lainnya
demikian terus berlanjut hingga kematian menjemputnya.
“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya
kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan
dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya
harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat
kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya
kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan
ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)
Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia
mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman 17)
“Bersabarlah
dirimu sebagaimana bersabarnya Ulul Azmi dari para rasul dan janganlah kamu
meminta disegerakannya adzab bagi mereka (kaum musyrikin)” (al-Ahqaf : 35)
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (az-Zumar : 10),
Wallohua’lam
bisshowwab
Sigit Arif Anggoro
TF UGM ‘12
No comments:
Post a Comment